Kreativitas KKMI dan Teori Relevansi

24 Des 2009
Oleh : Miftahur Risal

Kreativitas selalu menjadi hal yang terus didengungkan dalam kehidupan berorganisasi. Karakteristik suatu perkumpulan bisa disebut sebagai organisasi eksis di samping mempunyai tujuan yang jelas, adalah apabila ada kreasi dari anggotanya untuk memajukan perkumpulan yang ada, dan bukan memanfaatkannya sebagai wadah kumpul belaka.

Organisasi tanpa kretivitas sudah pasti akan mandeg dan tinggal menuju ajal. Maka, ide kreatif adalah mutlak bagi setiap organisasi. Kreatif tidak serta merta saya artikan dengan memulai sesuatu yang baru, tidak pula saya artikan dengan penemuan-penemuan penting. Titik berat dari kata kreatif di sini adalah gagasan yang mengarah kepada usaha untuk menjaga eksistensi organisasi di tengah-tengah perkembangan jaman. Sehingga kreasi tersebut bisa dalam bentuk ide baru, penemuan baru, terobosan baru, dan sebagainya, bisa juga dalam bentuk penyempurnaan kegiatan, format ulang suatu acara, kaji ulang suatu program, mengkondisikan program lama dengan tantangan baru yang ada, mengembangkan kinerja, membuat kemasan yang berbeda dari sebelumnya, cara yang berbeda, metodologi berbeda, dan sebagainya. Intinya, kreatif dalam konteks ini tidak menafikan warisan-warisan lama yang relevan untuk dipertahankan.

Dalam kesempatan akhir tahun ini, saya ingin mencoba mengangkat tema kreatif tadi dalam kerangka pertumbuhan dan perkembangan KKMI beberapa waktu terakhir berikut pertimbangan relevansinya dengan kebutuhan anggota.

Pertama-tama saya mengapresiasi kemajuan demi kemajuan dalam tubuh KKMI dari segi kualitas program-programnya. Kebutuhan mendasar bagi anggota sebagai mahasiswa telah dicukupi oleh KKMI dalam aplikasi program-programnya. Meskipun demikian, KKMI sebagai sebuah “organisme” yang hidup dan berkembang tetap saja membutuhkan sesuatu yang bersifat dinamis, tidak statis, dan terus relevan dengan peluang-peluang dan tantangan yang ada.

Sesuatu yang dinamis tadi terkadang tidak secara gamblang terpapar dalam program kerja. Terkadang “tersembunyi” di tengah kalimat-kalimat Garis-garis Besar Program Kerja (GBPK) maupun Ad/ART , terkadang juga hanya merupakan respon atas peluang maupun tantangan yang tiba-tiba muncul dan tidak direncanakan sedari awal. Inilah yang pada akhirnya saya definisikan sebagai kreativitas. Kreatif untuk mengembangkan kinerja, menemukan celah-celah peluang yang menguntungkan bagi organisasi, dan berani mengambil resiko apapun untuk berkembang. Contoh gampangnya adalah yang baru-baru ini dibahas di tingkat Musyawarah Besar, yaitu penghapusan Badan Otonom dan menggantinya dengan UKM,(entah itu unit kegiatan mahasiswa atau unit kreasi mahasiswa). Muncul pertanyaan, mengapa harus diubah? Bukankah sama saja? Toh hanya berganti nama? Pada tahap inilah kreatifitas KKMI dipancing. Hal ini meskipun pada awalnya bersifat “ teoritis non-praktis”, tapi ke depan akan memberi efek yang luar biasa terhadap harmonisme organisasi. Ingat! Kesuksesan teoritis akan memberi dampak kesuksesan pada tingkat praktik. Kerancuan koordinasi dan kenyataan bahwa besarnya intervensi DPI terhadap BO membuatnya harus diubah menjadi UKM yang berafiliasi langsung dengan departemen terkait di tubuh KKMI. Perlu dicatat, saya tidak hendak mengungkitnya di sini dengan tujuan justifikasi dengan benar maupun salah. Saya hanya ingin menggambarkan, bahwa sesuatu “sesakral” AD/ART pun apabila dalam praktiknya tidak relevan dengan peluang, kekuatan organisasi, maupun tantangan yang ada; maka tidak menghalangi kita untuk mengoreksinya.

Contoh lain adalah berupa respon DPI 2008-2009 yang sedari awal tidak mencantumkan satu pun program kerja untuk ketua karena pertimbangan tertentu. Setelah berjalan hampir 7 bulan, mayoritas anggota menganggapnya tidak terlalu “membantu” dalam usaha memonitor kinerja ketua, pun dalam rangka memetakan otoritas dan tanggung jawab agar lebih fokus. Respon DPI yang dengan legowo mengubah bentuk awal program kerja yang-sebenarnya-secara resmi telah disetujui di rapat kerja pertama DPI dan menyesuaikannya dengan kebutuhan anggota; adalah suatu respon positif yang sekali lagi menggambarkan bagaimana organisasi harus selalu mempertimbangkan aspek relevansi dalam segala aspek, teoritis maupun praktis. Itu hanya dua dari sekian banyak contoh yang ada, yang sengaja saya ambil dari aspek teoritis saja.

Dalam ranah praktek, jauh lebih banyak lagi bentuk kreativitas yang lahir dari KKMI akhir-akhir ini sebagai sebuah organisasi yang dinamis. Terbentuknya departemen-departmen baru dalam dua sampai tiga tahun ini dengan tugas dan tanggung jawab yang sama sekali baru jelas merupakan bentuk kreativitas yang tak ternilai. Ditambah dengan semakin variatifnya format kegiatan dari waktu ke waktu plus pembenahan yang efisien mengantarkan kita untuk sekali lagi angkat topi bagi KKMI. Tidak ada yang pantas kita sampaikan kecuali apresiasi dan dukungan penuh untuk kreativitas-kreativitas yang muncul tersebut.

Relevansi Aspek Kekeluargaan
Prinsip relevansi di atas hendaknya bisa diaplikasikan di dalam dua sudut pandang sekaligus. Pertama; adalah KKMI sebagai sebuah organisasi profesional, dan kedua; KKMI sebagai sebuah organisasi kekeluargaan (sebagaimana namanya). Memperbincangkan KKMI sebagai sebuah organisasi profesional tentunya lebih mudah dan pasti karena rujukannya jelas ada. Mulai dari AD/ART, GBPK, hingga Program Kerja adalah serangkaian acuan untuk “melihat” KKMI. Namun, tidak semudah itu dalam melihat KKMI dari sudut pandang “kekeluargaan”nya. Hal ini karena aspek kekeluargaan adalah aspek normatif ( hal-hal yang bersifat norma) yang tentu saja tak tertuliskan dalam lembaran-lembaran kertas formal.

Ada beberapa fenomena menarik dari KKMI ini yang barangkali cocok untuk dijadikan contoh bagaimana prinsip relevansi dapat dipraktikkan juga di aspek kekeluargaan ini. Salah satunya adalah perkembangan kesolidan KKMI dari tahun ke tahun. Pada Kepengurusan KKMI 2006-2007 (ketika saya menjadi anggota baru) iklim kekeluargaan masih saya rasa kurang. Masalah Intern DPI dengan vulgar terekspos ke publik, sedikit banyak menggambarkan bagaimana kurang harmonisnya “keluarga” KKMI waktu itu. Pun demikian ketika saat-saat menjelang SPA, nuansa saling “jebak” masih sangat terasa. Dalam konteks organisasi profesional, hal-hal semacam ini mungkin dipandang sehat karena dengan adanya “lawan” memungkinkan adanya kontrol kepengurusan yang sehat. Akan masih dalam taraf “sehat” dan normal apabila masih dalam koridor profesionalisme. Namun, ketika mulai merembet ke persoalan-persoalan non organisasi, hal-hal semacam itu hanya akan menimbulkan iklim tidak sehat di tubuh organisasi.

Tanpa perlu mengorek luka lama lebih dalam lagi, saya pikir perkembangan KKMI hingga 2009-2010 ini sangatlah menggembirakan. Setidaknya, nuansa kekeluargaan dalam awal pemilihan maupun kesolidan kepengurusan KKMI itu sendiri telah mengalami perkembangan yang signifikan. Inilah yang membuktikan bahwa kata “keluarga” semakin relevan disematkan ke KKMI sebagaimana cita-cita founding fathers-nya.
Hal selanjutnya, barangkali lebih banyak berpulang kepada anggota secara keseluruhan, yaitu partisipasi yang masih pasang-surut. Memang partisipasi organisasi bersifat dinamis, tidak statis, yang selalu naik-turun. Namun, coba kita pulangkan hal tersebut ke teori relevansi tadi. Apakah cocok sebuah keluarga dibangun di atas sikap tidak saling mendukung? Apakah sopan bagi seorang anak untuk tidak melaksankan perintah “bapak”nya? Dengan kata lain, layakkah kita sebagai keluarga memprioritaskan urusan pribadi masing-masing di atas kepentingan keluarga besar? Hal yang sukar ditentukan sekarang, ketika aspek kekeluargaan masih belum kokoh. Kita bersama lah yang akhirnya bertanggung jawab untuk memperkokoh aspek kekeluargaan tersebut. Menjadikannya agar tetap relevan disematkan di KKMI sampai kapanpun. Semoga berhasil !

In uridu illa al ishlah ma istatho’tu.
Wallahu a’lam. []

Selanjutnya....

Geliat Perubahan Jasmine

20 Des 2009
oleh : Ellen F. Valentine

Jaringan Kreasi Mahasiswi Indonesia (JASMINE) dibentuk pada tahun 2006 dan diketuai pertama kali oleh Saudari Naily Zulfatul Jannah, Lc dengan hanya beranggotakan delapan orang. Sebagai komunitas mahasiswi Indonesia, Jasmine lebih memfokuskan kegiatannya pada hal-hal yang bersifat ilmiah daripada keorganisasian. Mengingat masih terbatasnya ruang gerak bagi perempuan pada saat itu, maka otomatis kegiatan-kegiatannya hanya sebatas pada intern sesama mahasiswi Indonesia, seperti diskusi rutin, tahfidz, serta kajian hadits.

Seiring perkembangan zaman dan bertambahnya anggota, Jasmine terus memperbaiki diri. Dari yang awalnya hanya sebagai ajang kumpul-kumpul dan sharing informasi, Jasmine mulai memperjelas identitasnya. Pada tahun 2007 Jasmine memproklamirkan diri sebagai badan otonom (BO) Kesatuan Keluarga Mahasiswa Indonesia (KKMI). Di sini, Jasmine mulai dituntut untuk mandiri dan mempunyai hak otonomi untuk mengatur rumah tangganya sendiri meski ternyata BO ini masih sepenuhnya bergantung pada organisasi induk, KKMI. Hal ini bisa dimaklumi mengingat Jasmine baru terbentuk setahun sebelumnya.

Baru kemudian pada Permusyawaratan Besar 2009 KKMI, Jasmine mempunyai identitas dan garis koordinasi yang jelas dengan Dewan Permusyawaratan Inti (DPI) KKMI yaitu sebagai departemen keputrian yang kedudukannya sama dengan departemen lain di KKMI. Bedanya, objek yang diurusi adalah mahasiswi Indonesia.

Aktifitas Jasmine
Sebagai organisasi mahasiswi Indonesia yang berada di tengah negara-negara lainnya –tentu dengan kemajemukan ras, bahasa, warna kulit, dan kultur yang berbeda-, maka Jasmine dituntut untuk proporsional, khususnya dalam menjaga hubungan eksternal dengan mahasiswi asing di kampus Kuliyah Dakwah Islamiyah. Terkadang masalah sepele bisa menjadi besar jika tidak disikapi dengan serius. Sebagai contoh, karena terlalu sering kumpul-kumpul dengan sesama komunitas Indonesia, entah itu untuk kegiatan resmi maupun hanya untuk makan bareng, Jasmine pernah dicap sebagai komunitas ekslusif yang tidak mau bergaul dengan teman-teman dari negara lain. Hal itu tentu tidak bisa dibiarkan berlarut-larut. Sebagai solusinya maka Jasmine mulai mengurangi kumpul-kumpul yang tidak resmi tersebut dan menggantinya dengan turut berpartisipasi aktif dalam setiap kegiatan Amanah Muktamar Thulabi (BEM kampus). Contohnya dengan mengadakan sholat jamaah dan tahfidz maupun tahsin al-Qur’an di salah satu tempat di asrama mahasiswi yang diikuti oleh teman-teman mahasiswi luar negeri. Dan sana, kita kemudian tahu bahwa ternyata masih banyak dari mereka yang belum bisa membaca Al-qur’an, sehingga harus diajari dari nol, dari membaca huruf hijaiyyah. Disinilah anggota Jasmine dituntut untuk berperan aktif menyumbangkan ilmunya.

Salah satu kegiatan yang menjadi bukti “kesamaan derajat” Jasmine dengan divisi-divisi lain di KKMI adalah diadakannya talkshow dengan tema “Menggagas sistem pendidikan anti materialisme dan sekulerisme” dalam rangka memperingati hari pendidikan nasional. Kegiatan ini merupakan kali pertama yang diadakan Jasmine dengan mengundang audiens eksternal. Saya katakan eksternal karena selama ini Jasmine hanya memfokuskan kegiatan-kegiatannya intern anggota Jasmine saja. Talkshow ini bisa dikatakan sebagai respon atas pertanyaan-pertanyaan anggota KKMI yang “haus” mencari sosok-sosok perempuan modern, intelek, dan dinamis ekaligus sebagai wadah untuk mengaplikasikan dan menyalurkan potensi anggota Jasmine dalam kegiatan-kegiatan yang bersifat ilmiah secara lebih luas.

Kegiatan lain yang pernah diadakan adalah mengisi pengajian ibu-ibu di KBRI. Pada waktu itu responnya sangat positif.sehingga Jasmine diminta untuk bisa rutin dua minggu sekali mengisi pengajian. Namun karena beberapa kendala, diantaranya birokrasi kampus yang sulit, akhirnya program tersebut tidak dapat diteruskan.

Saat ini Jasmine dipegang oleh Saudari Sri Wahyuni dengan beranggotakan 17 orang; sebuah jumlah yang tidak bisa dikatakan sedikit untuk ukuran Kuliyah Dakwah. Dengan semakin bertambahnya anggota, diharapkan bisa membawa angin segar bagi Jasmine. Ide-ide baru banyak bermunculan. Semangat untuk maju pun semakin menggebu. Satu hal yang sangat membanggakan, Jasmine sekarang ini tidak lagi “malu-malu” untuk unjuk gigi. Dalam banyak event yang diadakan KKMI pun, kini Jasmine lebih aktif berperan serta. Nampaknya euphoria persamaan gender membawa dampak positif bagi divisi ini. Semoga semangat ini terus menyala demi melahirkan jiwa-jiwa muda yang penuh karya.

Selanjutnya....

Episode-episode KKMI

17 Des 2009
Sebuah hasil wawancara dengan Ust. Anwar Munashir, Lc

Seperti umumya tabiat manusia ketika mendapati bahwa dia hidup dengan orang lain, saling membutuhkan satu sama lain dalam interaksi sosialnya, maka 10 mahasiswa Indonesia yang saat itu kuliah di Kuliyah Dakwah Islamiyah meresmikan hubungan mereka dalam suatu ikatan bernama PPI Libya. Tidak ada tujuan lain melainkan untuk semakin mempererat silaturahim antara perantau di negeri Muammar Qadhafi ini dan mempermudah komunikasi beberapa pihak terkait agar eksistensi mahasiswa di luar negeri mendapat perhatian. Akhirnya, saudara Badrul Hilmi menjabat sebagai Presiden Pertama Mahasiswa Indonesia di Libya.

Penyelenggaraan organisasi pada mulanya hanya berupa aktifitas sederhana hingga salah seorang mahasiswa yang menempuh jenjang aliyahnya di Egypt berhasil membawa informasi dan mengadopsi pola PPI Mesir di sana. Akhirnya setelah melalui proses modifikasi dan penyesuaian daerah, disepakati bahwa “kekeluargaan” menjadi prioritas organisasi disamping kegiatan ilmiah internal anggota. Maka lahirlah Kesatuan Keluarga Mahasiswa Indonesia yang menjadi payung bagi komunitas plural ini. Bukan hanya nama, organisasi ini benar-benar mampu membawa perubahan dalam kehidupan sosial mereka. Slogan kekeluargaan tertanam kuat dalam setiap pribadi hingga akhirnya perbedaan latar belakang bahasa, suku, budaya, dan fiqih yang dianut pun melebur tanpa membawa masalah. Hingga hal paling kecil pun, seperti silaturahim masyarakat yang dulunya dilakukan secara individual, selalu dilakukan secara bersama-sama atas nama KKMI. luar biasa indah.

Selain kekeluargaan, bidang akademis juga mendapat porsi yang istimewa dalam organisasi ini. kegiatan-kegiatan diskusi, seminar, bedah buku, “muhadatsah” menggunakan bahasa Arab-Inggris, atau kegiatan lain yang menunjang prestasi di bangku kuliah dihidupkan secara besar-besaran. Maka jangan heran ketika menemukan mahasiswa Indonesia selalu nangkring di posisi Mumtaz Awal, bahkan nilai Jayyid Jiddan (B+) menjadi menjadi nilai paling kecil di antara mereka. Dalam bahasa mereka, “adalah aib kalau sampai kita mendapatkan nilai maqbul (C)”. Dan catatan prestasi pun ternyata tidak hanya diukir di bangku kuliah saja. Seolah-olah setiap mahasiswa Indonesia memiliki kelebihan yang mampu mengharumkan nama Indonesia di negeri ini. Seperti salah seorang mereka yang menjadi juru bicara mahasiswa Kuliyah Dakwah dalam forum-forum umum karena keahlian bahasanya, juga seorang yang menjadi “juru tulis” bagi Makatib kampus, atau seorang yang menjadi teknisi khusus komputer.
Seperti pohon yang berbuah, mereka pun mendapatkan perlakuan yang istimewa dari seluruh civitas akademik kampus. Baik di Qism Dakhil, Syu’un Tholabah, Qism Nasyath dan Maktab-maktab yang lain sehingga selalu mendapatkan prioritas dalam keikutsertaan event-event atau kunjungan ke luar kampus.

Masakan Dan Sepakbola
Bagi kita, masakan atau sepakbola adalah hal sepele yang menjadi prioritas kesekian puluh dalam hidup kita. Saat ini, ketika ada undangan bakar-bakar di ghobah saja, bisa kita saksikan bersama berapa jumlah mahasiswa yang berkenan untuk datang duluan, membantu pengurus menyiapkan segala sesuatu berkaitan dengan masakan. Kebanyakan kita ternyata belum bisa membaca momentum. Padahal para pendahulu kita telah mengajarkan arti kebersamaan dalam dua moment tersebut. Mereka memanfaatkan benar ajang berkumpul tersebut untuk memperkuat ikatan persaudaraan. Rasa masakan tidak menjadi penting ketika semua proses memasak dijalani secara bersama-sama. Akan ada canda dan tawa disana. Kesedihan melebur dan tersisa kebahagiaan. Atau barangkali generasi saat ini mempunyai gengsi yang lebih gede dari mereka?

Begitu pula sepak bola atau olah raga yang lainnya. Tradisi yang telah kita warisi untuk ‘menguasai’ lapangan sepakbola setiap Jum’at pagi sedikit demi sedikit akan terkikis ketika cara pandang kita terhadap olahraga adalah sarana pelampiasan hobi. Padahal momentum rutin mingguan ini akan menjadi sarana efektif untuk silaturahim dan bertatap muka antara anggota. Skill dan hobi dinomerduakan, dan kebersamaan menjadi prioritas utama. Sepuluh mahasiswa saat itu menjadi satu kesebelasan yang solid ketika mereka semua hadir di lapangan. Bahkan persiapan-persiapan kecil pun sering dilakukan, seperti berbelanja kaki atau kepala kambing pada hari Kamis untuk dimasak Jum’at pagi. Semua keperluan pendanaan ditanggung bersama. Sangat indah. Berbeda dengan itu semua, barangkali saat ini film, game-game di laptop, chatting, serta facebook lebih menarik dan penting dibanding ukhuwah kita disini?

Berjuang Dalam Keterbatasan
Masih terekam jelas dalam ingatan Bang Anwar ketika Majalah Ukhuwah untuk pertama kalinya diterbitkan dengan menggunakan tulisan tangan! Baru setelah salah seorang mendapatkan kepercayaan menggunakan komputer kuliyah, Ukhuwah diterbitkan dalam bentuk yang lebih baik. Sebuah mukjizat saat itu! Begitu pula dengan keperluan administrasi lainnya. Semuanya dikerjakan dengan tangan! Jangan heran kalau tulisan para pedahulu rapi dan bagus.

Dan sebuah drama bekerja sama dengan BEM kampus yang dulu pernah ditampilkan pun adalah hasil perasan ide kreatif para anggota. Ketika komputer belum ada, fasilitas-fasilitas modern lainnya juga belum dimiliki. Tapi semua kendala itu sirna ketika tekad untuk menampilkan yang terbaik dan keinginan untuk mengangkat nama Indonesia setinggi-tingginya dimiliki, dibungkus dengan ruh semangat perjuangan bangsa Palestina, maka lahirlah masterpiece tersebut.

Setiap anggota menyadari bahwa anggota yang lain adalah keluarga. KKMI ibarat bangunan rumah yang mengayomi siapa saja didalamnya. Maka setiap permasalahan pribadi akan menjadi permasalahan bersama, setiap kesulitan akan dipecahkan beramai-ramai. Sebagai contoh konkrit, ketika salah satu benar-benar tidak mempunyai cukup uang untuk menelpon orangtua yang berada Indonesia, maka keuangan organisasi bisa dicairkan untuk menutupi kebutuhan tersebut. KKMI dari, oleh dan untuk anggota.

2000-Sampai Sekarang
Maka dimulailah penerimaan mahasiswa Indonesia dalam jumlah besar, mencapai belasan orang dari yang dahulunya hanya 5-6 orang saja –saat itu populasi mahasiswa Indonesia menempati ranking ke 10 dibawah Negara-negara Afrika. Ini adalah bentuk kerjasama dari kesepakatan-kesepakatan yang dihasilkan kunjungan petinggi-petinggi ormas Indonesia ke Libya seperti Syafi’I Ma’arif, Amien Rais dan Sahal Mahfudz. Akhirnya setiap ormas mendapatkan jatah pengiriman kader. Sebagai konsekuensi logis atas pertambahan anggota, perluasan kegiatan organisasi pun dilakukan.

Pada awal mulanya para anggota begitu semangat dengan padatnya kegiatan, karena mereka berprinsip bahwa KKMI adalah ajang untuk melatih skill keorganisasian. Tapi lambat laun kejenuhan pun menghinggapi, ditambah ketidakhadiran beberapa anggota dikarenakan kesibukannya membantu KBRI pada awal pendiriannya. Maka agenda-agenda pun KKMI menjadi menjadi sepi, anggota mulai untuk memilah dan memilih kegiatan yang dirasa benar-benar sesuai dengan prioritas belajar mereka disini.

Ormas yang sebelumnya tidak ada sedikit demi sedikit menampakkan kegiatannya meskipun secara resmi belum didirikan perwakilan. Barangkali hal ini terkait dengan kebijakan pusat di Indonesia. Meskipun demikian, semua menyadari bahwa KKMI adalah wadah utama dan sarana pemersatu keberagaman mereka. Maka ketika terjadi benturan kegiatan, KKMI didahulukan.

Perkembangan teknologi dan bertambahnya fasilitas sebenarnya harus bisa dimanfaatkan untuk kemaslahatan organisasi dan penunjang prestasi akademik. Namun sepertinya para anggota belum siap saat itu. Terbukti keberadaan computer, internet dan yang lainnya seringkali melenakan dan membuat diri lalai akan kewajiban utama; belajar. Ditambah kegiatan organisasi yang terkadang ‘lupa waktu’. Dua hal tersebut barangkali juga menjadi penyebab merosotnya prestasi akademik kita, tentu saja selain itu factor pribadi juga sangat mempengaruhi. Dari yang dahulunya mampu mempertahankan reputasi Imtiyaz, bahkan nilai minimal adalah Jayyid Jiddan, turun sedikit demi sedikit. Bahkan ada yang gagal dalam ujiannya. Ini adalah salah satu sisi yang harus kita jadikan koreksi bersama.

Hal lain yang perlu mendapatkan perhatian adalah terkikisnya ruh loyalitas, kebersamaan dan kekeluargaan. Dahulu segala macam keluhan salah satu anggota pasti didengar oleh anggota yang lain. Gotong royong dan kerjasama dalam setiap kegiatan dijunjung kuat. Tapi sekarang? Dahulu keputusan Presiden KKMI adalah keputusan yang harus ditaati oleh semua anggota. Tapi sekarang?

Barangkali sekarang kegiatan-kegiatan penunjang prestasi akademik perlu mendapatkan penambahan porsi. Kita bisa mencontoh rekan-rekan Afrika dan Eropa yang menghidupkan belajar bareng maupun halaqoh ilmiah.

Mari bersama-sama kita mengevaluasi perjalanan mahasiswa Indonesia disini, semoga kedepan kita mampu melakukan perbaikan-perbaikan dan meningkatkan kualitas SDM dan organisasi ini. [] (Ammu faith)

Selanjutnya....