Sebuah hasil wawancara dengan Ust. Anwar Munashir, Lc
Seperti umumya tabiat manusia ketika mendapati bahwa dia hidup dengan orang lain, saling membutuhkan satu sama lain dalam interaksi sosialnya, maka 10 mahasiswa Indonesia yang saat itu kuliah di Kuliyah Dakwah Islamiyah meresmikan hubungan mereka dalam suatu ikatan bernama PPI Libya. Tidak ada tujuan lain melainkan untuk semakin mempererat silaturahim antara perantau di negeri Muammar Qadhafi ini dan mempermudah komunikasi beberapa pihak terkait agar eksistensi mahasiswa di luar negeri mendapat perhatian. Akhirnya, saudara Badrul Hilmi menjabat sebagai Presiden Pertama Mahasiswa Indonesia di Libya.
Penyelenggaraan organisasi pada mulanya hanya berupa aktifitas sederhana hingga salah seorang mahasiswa yang menempuh jenjang aliyahnya di Egypt berhasil membawa informasi dan mengadopsi pola PPI Mesir di sana. Akhirnya setelah melalui proses modifikasi dan penyesuaian daerah, disepakati bahwa “kekeluargaan” menjadi prioritas organisasi disamping kegiatan ilmiah internal anggota. Maka lahirlah Kesatuan Keluarga Mahasiswa Indonesia yang menjadi payung bagi komunitas plural ini. Bukan hanya nama, organisasi ini benar-benar mampu membawa perubahan dalam kehidupan sosial mereka. Slogan kekeluargaan tertanam kuat dalam setiap pribadi hingga akhirnya perbedaan latar belakang bahasa, suku, budaya, dan fiqih yang dianut pun melebur tanpa membawa masalah. Hingga hal paling kecil pun, seperti silaturahim masyarakat yang dulunya dilakukan secara individual, selalu dilakukan secara bersama-sama atas nama KKMI. luar biasa indah.
Selain kekeluargaan, bidang akademis juga mendapat porsi yang istimewa dalam organisasi ini. kegiatan-kegiatan diskusi, seminar, bedah buku, “muhadatsah” menggunakan bahasa Arab-Inggris, atau kegiatan lain yang menunjang prestasi di bangku kuliah dihidupkan secara besar-besaran. Maka jangan heran ketika menemukan mahasiswa Indonesia selalu nangkring di posisi Mumtaz Awal, bahkan nilai Jayyid Jiddan (B+) menjadi menjadi nilai paling kecil di antara mereka. Dalam bahasa mereka, “adalah aib kalau sampai kita mendapatkan nilai maqbul (C)”. Dan catatan prestasi pun ternyata tidak hanya diukir di bangku kuliah saja. Seolah-olah setiap mahasiswa Indonesia memiliki kelebihan yang mampu mengharumkan nama Indonesia di negeri ini. Seperti salah seorang mereka yang menjadi juru bicara mahasiswa Kuliyah Dakwah dalam forum-forum umum karena keahlian bahasanya, juga seorang yang menjadi “juru tulis” bagi Makatib kampus, atau seorang yang menjadi teknisi khusus komputer.
Seperti pohon yang berbuah, mereka pun mendapatkan perlakuan yang istimewa dari seluruh civitas akademik kampus. Baik di Qism Dakhil, Syu’un Tholabah, Qism Nasyath dan Maktab-maktab yang lain sehingga selalu mendapatkan prioritas dalam keikutsertaan event-event atau kunjungan ke luar kampus.
Masakan Dan Sepakbola
Bagi kita, masakan atau sepakbola adalah hal sepele yang menjadi prioritas kesekian puluh dalam hidup kita. Saat ini, ketika ada undangan bakar-bakar di ghobah saja, bisa kita saksikan bersama berapa jumlah mahasiswa yang berkenan untuk datang duluan, membantu pengurus menyiapkan segala sesuatu berkaitan dengan masakan. Kebanyakan kita ternyata belum bisa membaca momentum. Padahal para pendahulu kita telah mengajarkan arti kebersamaan dalam dua moment tersebut. Mereka memanfaatkan benar ajang berkumpul tersebut untuk memperkuat ikatan persaudaraan. Rasa masakan tidak menjadi penting ketika semua proses memasak dijalani secara bersama-sama. Akan ada canda dan tawa disana. Kesedihan melebur dan tersisa kebahagiaan. Atau barangkali generasi saat ini mempunyai gengsi yang lebih gede dari mereka?
Begitu pula sepak bola atau olah raga yang lainnya. Tradisi yang telah kita warisi untuk ‘menguasai’ lapangan sepakbola setiap Jum’at pagi sedikit demi sedikit akan terkikis ketika cara pandang kita terhadap olahraga adalah sarana pelampiasan hobi. Padahal momentum rutin mingguan ini akan menjadi sarana efektif untuk silaturahim dan bertatap muka antara anggota. Skill dan hobi dinomerduakan, dan kebersamaan menjadi prioritas utama. Sepuluh mahasiswa saat itu menjadi satu kesebelasan yang solid ketika mereka semua hadir di lapangan. Bahkan persiapan-persiapan kecil pun sering dilakukan, seperti berbelanja kaki atau kepala kambing pada hari Kamis untuk dimasak Jum’at pagi. Semua keperluan pendanaan ditanggung bersama. Sangat indah. Berbeda dengan itu semua, barangkali saat ini film, game-game di laptop, chatting, serta facebook lebih menarik dan penting dibanding ukhuwah kita disini?
Berjuang Dalam Keterbatasan
Masih terekam jelas dalam ingatan Bang Anwar ketika Majalah Ukhuwah untuk pertama kalinya diterbitkan dengan menggunakan tulisan tangan! Baru setelah salah seorang mendapatkan kepercayaan menggunakan komputer kuliyah, Ukhuwah diterbitkan dalam bentuk yang lebih baik. Sebuah mukjizat saat itu! Begitu pula dengan keperluan administrasi lainnya. Semuanya dikerjakan dengan tangan! Jangan heran kalau tulisan para pedahulu rapi dan bagus.
Dan sebuah drama bekerja sama dengan BEM kampus yang dulu pernah ditampilkan pun adalah hasil perasan ide kreatif para anggota. Ketika komputer belum ada, fasilitas-fasilitas modern lainnya juga belum dimiliki. Tapi semua kendala itu sirna ketika tekad untuk menampilkan yang terbaik dan keinginan untuk mengangkat nama Indonesia setinggi-tingginya dimiliki, dibungkus dengan ruh semangat perjuangan bangsa Palestina, maka lahirlah masterpiece tersebut.
Setiap anggota menyadari bahwa anggota yang lain adalah keluarga. KKMI ibarat bangunan rumah yang mengayomi siapa saja didalamnya. Maka setiap permasalahan pribadi akan menjadi permasalahan bersama, setiap kesulitan akan dipecahkan beramai-ramai. Sebagai contoh konkrit, ketika salah satu benar-benar tidak mempunyai cukup uang untuk menelpon orangtua yang berada Indonesia, maka keuangan organisasi bisa dicairkan untuk menutupi kebutuhan tersebut. KKMI dari, oleh dan untuk anggota.
2000-Sampai Sekarang
Maka dimulailah penerimaan mahasiswa Indonesia dalam jumlah besar, mencapai belasan orang dari yang dahulunya hanya 5-6 orang saja –saat itu populasi mahasiswa Indonesia menempati ranking ke 10 dibawah Negara-negara Afrika. Ini adalah bentuk kerjasama dari kesepakatan-kesepakatan yang dihasilkan kunjungan petinggi-petinggi ormas Indonesia ke Libya seperti Syafi’I Ma’arif, Amien Rais dan Sahal Mahfudz. Akhirnya setiap ormas mendapatkan jatah pengiriman kader. Sebagai konsekuensi logis atas pertambahan anggota, perluasan kegiatan organisasi pun dilakukan.
Pada awal mulanya para anggota begitu semangat dengan padatnya kegiatan, karena mereka berprinsip bahwa KKMI adalah ajang untuk melatih skill keorganisasian. Tapi lambat laun kejenuhan pun menghinggapi, ditambah ketidakhadiran beberapa anggota dikarenakan kesibukannya membantu KBRI pada awal pendiriannya. Maka agenda-agenda pun KKMI menjadi menjadi sepi, anggota mulai untuk memilah dan memilih kegiatan yang dirasa benar-benar sesuai dengan prioritas belajar mereka disini.
Ormas yang sebelumnya tidak ada sedikit demi sedikit menampakkan kegiatannya meskipun secara resmi belum didirikan perwakilan. Barangkali hal ini terkait dengan kebijakan pusat di Indonesia. Meskipun demikian, semua menyadari bahwa KKMI adalah wadah utama dan sarana pemersatu keberagaman mereka. Maka ketika terjadi benturan kegiatan, KKMI didahulukan.
Perkembangan teknologi dan bertambahnya fasilitas sebenarnya harus bisa dimanfaatkan untuk kemaslahatan organisasi dan penunjang prestasi akademik. Namun sepertinya para anggota belum siap saat itu. Terbukti keberadaan computer, internet dan yang lainnya seringkali melenakan dan membuat diri lalai akan kewajiban utama; belajar. Ditambah kegiatan organisasi yang terkadang ‘lupa waktu’. Dua hal tersebut barangkali juga menjadi penyebab merosotnya prestasi akademik kita, tentu saja selain itu factor pribadi juga sangat mempengaruhi. Dari yang dahulunya mampu mempertahankan reputasi Imtiyaz, bahkan nilai minimal adalah Jayyid Jiddan, turun sedikit demi sedikit. Bahkan ada yang gagal dalam ujiannya. Ini adalah salah satu sisi yang harus kita jadikan koreksi bersama.
Hal lain yang perlu mendapatkan perhatian adalah terkikisnya ruh loyalitas, kebersamaan dan kekeluargaan. Dahulu segala macam keluhan salah satu anggota pasti didengar oleh anggota yang lain. Gotong royong dan kerjasama dalam setiap kegiatan dijunjung kuat. Tapi sekarang? Dahulu keputusan Presiden KKMI adalah keputusan yang harus ditaati oleh semua anggota. Tapi sekarang?
Barangkali sekarang kegiatan-kegiatan penunjang prestasi akademik perlu mendapatkan penambahan porsi. Kita bisa mencontoh rekan-rekan Afrika dan Eropa yang menghidupkan belajar bareng maupun halaqoh ilmiah.
Mari bersama-sama kita mengevaluasi perjalanan mahasiswa Indonesia disini, semoga kedepan kita mampu melakukan perbaikan-perbaikan dan meningkatkan kualitas SDM dan organisasi ini. [] (Ammu faith)
0 comments:
Posting Komentar