“Dari mana datangnya dunia?
Sophie tidak mempunyai gagasan sekilas pun. sophie tahu bahwa dunia itu hanyalah sebuah planet kecil di angkasa. namun dari mana asalnya angkasa?
Mungkin saja angkasa selalu ada, karena itu dia tidak perlu mencari tahu dari mana ia berasal. Tapi, mungkinkah sesuatu itu selalu ada? Jauh di lubuk hatinya ia memprotes gagasan tersebut. tentunya segala sesuatu yang ada itu ada permulaanya, jadi angkasa pasti telah diciptakan dari seusuatu yang lain.
Tapi jika angkasa berasal dari sesuatu yang lain, maka sesuatu yang lain itu pasti juga berasal dari sesuatu yang lain pula. sophie merasa dia hanya menyeret-nyeret permasalahan.pada satu titk, sesuatu pasti berasal dari ketiadaan.namun apakah itu mungkin?
Mereka telah belajar di sekolah bahwa Tuhan menciptakan dunia. sophie berusaha untuk menghibur dirinya dengan pemikiran bahwa ini barang kali pemecahan terbaik untuk seluruh masalah itu.tapi dia lalu mulai berpikir lagi. dia dapat menerima bahwa Tuhan telah menciptakan angkasa, tapi bagaimana dengan Tuhan sendiri? Apakah dia menciptakan dirinya sendiri dari ketiadaan? Lagi-lagi ada sesuatu jauh di lubuk hatinya yang memprotes. meskipun Tuhan dapat menciptakan segala macam benda, tidak mungkin dia dapat mrenciptakan dirinya sendiri sebelum dia mempunaya “diri”.maka hanya tinggal satu kemungkinan : Tuhan selalu ada. Tapi sophie menolak kemungkinan itu ! segala sesuatu yang ada harus ada permulaanya. Oh persetan!!
****
Begitulah Jostein Garder dalam novelnya Sofie’s Verden (Dunia Sophie) menggelitik setiap pembaca tentang Tuhan. Rata-rata di setiap negara yang telah menerjemahkanya, novel ini terjual lebih dari 200.000 eksemplar dan ia sempat pula menduduki posisi pertama di daftar bestseller dunia pada 1995, mengalahkan novel The Celestine Prophecy karya James Redfield yang konon telah mengubah hidup banyak orang. Sampai sekarang novel ini telah diterjemahkan ke dalam 53 bahasa dan terjual kurang lebih 30 juta kopi di seluruh dunia.
Ini menunjukkan masih banyaknya manusia yang bertanya-tanya tentang misteri Tuhan dan alam semesta. Pertanyaan mereka hampir sama, Where’s God? Kapankah ia diciptakan? Dan bagaimana bentuk-Nya? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini ada baik nya kita menyimak dialog menarik antara Imam Abu Hanifah dengan sekelompok orang yang ragu akan eksitensi Tuhan.
Orang-orang itu bertanya kepada sang Imam: “pada tahun berapakah Tuhan anda dilahirkan?“
Sang Imam menjawab: “Tuhan itu sudah ada sebelum adanya ruang dan waktu, wujudnya tidak ber-awal”.
Kurang puas dengan jawaban sang Imam, merekapun kembali bertanya: ke arah manakah Tuhan anda menghadap?
Dengan tenang sang Imam menjawab pertanyaan tersebut dengan pertanyaan juga: “ketika kalian membawa lampu kedalam sebuah ruangan yang gelap, ke arah manakah cahaya lampu itu menghadap?”
“emm.. ya, kemana-mana” jawab mereka.
“kalau cahaya lampu saja kalian tidak mampu menentukan arahnya, bagaimana kalian bisa menentukan ke arah mana sang pemberi cahaya langit dan bumi menghadap?“ kata Imam Abu Hanifah.
Masih belum puas mereka pun bertanya lagi: baiklah, tolong anda gambarkan fisik Tuhan anda dengan konkrit. Apakah ia padat sepeti besi, atau cair seperti air, ataukah ia berupa gas seperti asap dan uap?
Dengan cerdas, lagi-lagi sang Imam menjawab pertanyaan itu dengan pertanyaan: “kalian pernah nggak duduk di samping orang yang sedang sekarat ? “
“iya ..pernah.” sahut mereka.
“ apakah orang yang sekarat itu masih bisa berbicara setelah maut menjemputnya? “ Tanya sang Imam.
“Tidak,”.kata mereka.
“bukankah sebelum mati ia bisa bergerak dan berbicara !! Kenapa sekarang tidak bisa? Apa yang membuat mayat itu tak bisa bicara ?? ”
”karena ruhnya telah lepas dari jasadnya,” jawab mereka yakin.
“Baiklah. Sekarang tolong kalian gambarkan bentuk ruh itu kepadaku, apakah ia padat seperti besi atau cair seperti air, ataukah ia berupa gas seperti asap dan uap? “ cerca sang Imam.
“Wah, kami tak tahu sedikitpun mengenai ruh“ jawab mereka dengan suara pelan.
“kalau ruh saja yang notabene hanya mahluk ciptaan Tuhan kalian tak mampu menjangkaunya, bagaimana mungkin kalian memintaku untuk menggambarkan keaguangan zat Tuhan !!“ sahut sang Imam mantap.
****
Bagaimanapun, manusia dengan akalnya saja tak akan mampu menjangkau hakikat wujud Tuhan.karena akal manusia hanya bisa mencerna hal-hal yang bisa dijangkau oleh panca inderanya. Prof. DR. Quraisy Shihab dalam “Wawasan Al-quran” menjelaskan bahwa ada dua faktor yang menjadikan manusia tidak dapat melihat sesuatu. Pertama, karna sesuatu yang akan dilihat terlalu kecil apalagi dalam kegelapan.sebutir pasir – lebih-lebih di malam yang kelam – tidak mungkin di temukan oleh seseorang. Kedua, karena sesuatu itu sangat terang. Bukankah kelelawar tidak dapat melihat di siang hari, karena sedemikian terangnya cahaya matahari dibanding dengan kemampuan matanya untuk melihat? Demikian pula manusia tidak sanggup menatap matahari dalam beberapa saat saja, bahkan setelah sesaat menatapnya ia akan menemukan kegelapan. Kalau demikan wajar jika mata kepalanya tak mampu melihat Tuhan pencipta matahari.
Suatu ketika Sayyidina Ali R.A. pernah ditanya oleh seorang sahabatnya, Zi’lib al-Yamani, “apakah anda pernah melihat Tuhan? “
Beliau menjawab “bagaimana mungkin aku menyembah yang tak pernah aku llihat” .
“Bagaimana anda melihat-Nya?“ tanyanya kembali.
“Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandanganya yang kasat, tapi bisa dilihat oleh hati dengan hakikat keimanan”.
Mata hati jauh lebih tajam dan dapat lebih meyakinkan daripada pandangan mata. Bukankah mata sering menipu kita? Kayu yang lurus terlihat bengkok di dalam sungai. Bintang yang besar terlihat kecil dari kejauhan. (M. Quraish Shihab: Wawasan Al-quran: hal. 26-27).
Walhasil, sesuatu yang terbatas tak akan pernah mampu menjangkau yang maha tak terbatas. Tapi, justru dengan keterbatasan itulah manusia bisa tahu bahwa ada sang pencipta yang maha tak terbatas, yang “menggenggam” seluruh alam dan isinya. Ia selalu ada tanpa harus di”ada”kan, karena “ada” dan “tiada” Ia juga lah yang meng-ADA-kanya.
Wallahu a’alm bis showab. []
Selanjutnya....
Sophie tidak mempunyai gagasan sekilas pun. sophie tahu bahwa dunia itu hanyalah sebuah planet kecil di angkasa. namun dari mana asalnya angkasa?
Mungkin saja angkasa selalu ada, karena itu dia tidak perlu mencari tahu dari mana ia berasal. Tapi, mungkinkah sesuatu itu selalu ada? Jauh di lubuk hatinya ia memprotes gagasan tersebut. tentunya segala sesuatu yang ada itu ada permulaanya, jadi angkasa pasti telah diciptakan dari seusuatu yang lain.
Tapi jika angkasa berasal dari sesuatu yang lain, maka sesuatu yang lain itu pasti juga berasal dari sesuatu yang lain pula. sophie merasa dia hanya menyeret-nyeret permasalahan.pada satu titk, sesuatu pasti berasal dari ketiadaan.namun apakah itu mungkin?
Mereka telah belajar di sekolah bahwa Tuhan menciptakan dunia. sophie berusaha untuk menghibur dirinya dengan pemikiran bahwa ini barang kali pemecahan terbaik untuk seluruh masalah itu.tapi dia lalu mulai berpikir lagi. dia dapat menerima bahwa Tuhan telah menciptakan angkasa, tapi bagaimana dengan Tuhan sendiri? Apakah dia menciptakan dirinya sendiri dari ketiadaan? Lagi-lagi ada sesuatu jauh di lubuk hatinya yang memprotes. meskipun Tuhan dapat menciptakan segala macam benda, tidak mungkin dia dapat mrenciptakan dirinya sendiri sebelum dia mempunaya “diri”.maka hanya tinggal satu kemungkinan : Tuhan selalu ada. Tapi sophie menolak kemungkinan itu ! segala sesuatu yang ada harus ada permulaanya. Oh persetan!!
****
Begitulah Jostein Garder dalam novelnya Sofie’s Verden (Dunia Sophie) menggelitik setiap pembaca tentang Tuhan. Rata-rata di setiap negara yang telah menerjemahkanya, novel ini terjual lebih dari 200.000 eksemplar dan ia sempat pula menduduki posisi pertama di daftar bestseller dunia pada 1995, mengalahkan novel The Celestine Prophecy karya James Redfield yang konon telah mengubah hidup banyak orang. Sampai sekarang novel ini telah diterjemahkan ke dalam 53 bahasa dan terjual kurang lebih 30 juta kopi di seluruh dunia.
Ini menunjukkan masih banyaknya manusia yang bertanya-tanya tentang misteri Tuhan dan alam semesta. Pertanyaan mereka hampir sama, Where’s God? Kapankah ia diciptakan? Dan bagaimana bentuk-Nya? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini ada baik nya kita menyimak dialog menarik antara Imam Abu Hanifah dengan sekelompok orang yang ragu akan eksitensi Tuhan.
Orang-orang itu bertanya kepada sang Imam: “pada tahun berapakah Tuhan anda dilahirkan?“
Sang Imam menjawab: “Tuhan itu sudah ada sebelum adanya ruang dan waktu, wujudnya tidak ber-awal”.
Kurang puas dengan jawaban sang Imam, merekapun kembali bertanya: ke arah manakah Tuhan anda menghadap?
Dengan tenang sang Imam menjawab pertanyaan tersebut dengan pertanyaan juga: “ketika kalian membawa lampu kedalam sebuah ruangan yang gelap, ke arah manakah cahaya lampu itu menghadap?”
“emm.. ya, kemana-mana” jawab mereka.
“kalau cahaya lampu saja kalian tidak mampu menentukan arahnya, bagaimana kalian bisa menentukan ke arah mana sang pemberi cahaya langit dan bumi menghadap?“ kata Imam Abu Hanifah.
Masih belum puas mereka pun bertanya lagi: baiklah, tolong anda gambarkan fisik Tuhan anda dengan konkrit. Apakah ia padat sepeti besi, atau cair seperti air, ataukah ia berupa gas seperti asap dan uap?
Dengan cerdas, lagi-lagi sang Imam menjawab pertanyaan itu dengan pertanyaan: “kalian pernah nggak duduk di samping orang yang sedang sekarat ? “
“iya ..pernah.” sahut mereka.
“ apakah orang yang sekarat itu masih bisa berbicara setelah maut menjemputnya? “ Tanya sang Imam.
“Tidak,”.kata mereka.
“bukankah sebelum mati ia bisa bergerak dan berbicara !! Kenapa sekarang tidak bisa? Apa yang membuat mayat itu tak bisa bicara ?? ”
”karena ruhnya telah lepas dari jasadnya,” jawab mereka yakin.
“Baiklah. Sekarang tolong kalian gambarkan bentuk ruh itu kepadaku, apakah ia padat seperti besi atau cair seperti air, ataukah ia berupa gas seperti asap dan uap? “ cerca sang Imam.
“Wah, kami tak tahu sedikitpun mengenai ruh“ jawab mereka dengan suara pelan.
“kalau ruh saja yang notabene hanya mahluk ciptaan Tuhan kalian tak mampu menjangkaunya, bagaimana mungkin kalian memintaku untuk menggambarkan keaguangan zat Tuhan !!“ sahut sang Imam mantap.
****
Bagaimanapun, manusia dengan akalnya saja tak akan mampu menjangkau hakikat wujud Tuhan.karena akal manusia hanya bisa mencerna hal-hal yang bisa dijangkau oleh panca inderanya. Prof. DR. Quraisy Shihab dalam “Wawasan Al-quran” menjelaskan bahwa ada dua faktor yang menjadikan manusia tidak dapat melihat sesuatu. Pertama, karna sesuatu yang akan dilihat terlalu kecil apalagi dalam kegelapan.sebutir pasir – lebih-lebih di malam yang kelam – tidak mungkin di temukan oleh seseorang. Kedua, karena sesuatu itu sangat terang. Bukankah kelelawar tidak dapat melihat di siang hari, karena sedemikian terangnya cahaya matahari dibanding dengan kemampuan matanya untuk melihat? Demikian pula manusia tidak sanggup menatap matahari dalam beberapa saat saja, bahkan setelah sesaat menatapnya ia akan menemukan kegelapan. Kalau demikan wajar jika mata kepalanya tak mampu melihat Tuhan pencipta matahari.
Suatu ketika Sayyidina Ali R.A. pernah ditanya oleh seorang sahabatnya, Zi’lib al-Yamani, “apakah anda pernah melihat Tuhan? “
Beliau menjawab “bagaimana mungkin aku menyembah yang tak pernah aku llihat” .
“Bagaimana anda melihat-Nya?“ tanyanya kembali.
“Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandanganya yang kasat, tapi bisa dilihat oleh hati dengan hakikat keimanan”.
Mata hati jauh lebih tajam dan dapat lebih meyakinkan daripada pandangan mata. Bukankah mata sering menipu kita? Kayu yang lurus terlihat bengkok di dalam sungai. Bintang yang besar terlihat kecil dari kejauhan. (M. Quraish Shihab: Wawasan Al-quran: hal. 26-27).
Walhasil, sesuatu yang terbatas tak akan pernah mampu menjangkau yang maha tak terbatas. Tapi, justru dengan keterbatasan itulah manusia bisa tahu bahwa ada sang pencipta yang maha tak terbatas, yang “menggenggam” seluruh alam dan isinya. Ia selalu ada tanpa harus di”ada”kan, karena “ada” dan “tiada” Ia juga lah yang meng-ADA-kanya.
Wallahu a’alm bis showab. []