By: Faber Castelle **
Suatu hari, kamu datang ke rumah. Itu adalah pertemuan pertama kita setelah kelulusanku. Aku dapati sesuatu yang aneh pada dirimu, Dik.
Wajahmu yang dulu penuh semangat berhias senyum ceria sekarang terlihat begitu berbeda, entah kemana semangatmu dulu. Dan tubuhmu yang dulu begitu segar bugar penuh keanggunan, ya Allah… sekarang terlihat kurus pucat seolah penuh ketidakberdayaan. Sakitkah dirimu?
Dulu, setiap kali kita berkumpul kamu akan menceritakan semua pengalamanmu padaku, bibirmu akan terus berceloteh tanpa henti, berapi-api. Aku selalu menjadi pendengar setiamu. Tapi, kini kamu hanya diam membisu tanpa berkata apa-apa.Saat kutanya sesuatu, kamupun hanya menjawab singkat untuk diikuti kesunyian yang lain.
Dik, tahukah kau betapa banyak yang ingin kutanyakan kepadamu? Tapi, aku tak ingin menambah penatmu dengan pertanyaan-pertanyaanku. Kubiarkan kita menikmati kesunyian hingga akhirnya kamu terlelap. Kuperhatikan keteduhan wajahmu saat kamu tidur, dan kugantungkan beribu pertanyaan pada waktu? Saat terbangun, kamupun hanya pamit, pergi tanpa sedikitpun kutahu “ada apa?”
****
Aku kembali ke duniaku; kuliah, lab, amanah dakwah. Dan aku kembali melupakanmu, hingga di kemudian hari seorang temanmu mengabariku melalui telpon bahwa kamu sudah sepekan sakit. Akupun terdiam di ujung telepon.
Kurencanakan untuk segera menjengukmu. Aku pergi ke rumahmu bersama beberapa akhwat lain. Hatiku miris. aku baru kali ini ke rumahmu, Dik. Ya Rabb, aku baru menyadari betapa aku tidak pernah memperhatikan saudariku yang telah memberi perhatian luar biasa padaku selama ini. Hatiku sangat perih melihat keadaanmu. Tubuhmu begitu kurus seolah aku tak pernah mengali dirimu. Tubuhku bergetar, dadaku sesak menahan tangis. air mataku tak kuasa kubendung.
Aku mendekatimu. Disana dirimu berusaha tersenyum meski yang kulihat adalah ringisan menahan sakit. Kutahan perasaanku. Aku memelukmu, mencium keningmu, yang diikuti akhwat lain. Kuberusaha menghiburmu meski sebenarnya di lubuk hati aku menangis meratapi acuhku selama ini.
Aku mencoba bertanya pada ibumu kenapa kamu tidak dibawa ke rumah sakit, namun hanya kutemukan jawaban yang menghempaskan perasaanku hingga hancur berkeping-keping. Kamu menderita kanker kelenjar getah bening, katanya. Dan karena ekonomi yang sulit, kamupun hanya dibawa ke puskesmas setelah pernah dikeluarkan dari RS hanya karena tak mempunyai uang untuk biaya berobat.
Ya Tuhan, apa gunaku selama ini? inikah ukhuwah yang aku dengungkan selama ini? inikah ikatan persaudaraan yang selalu kuikrarkan di setiap majlis yang aku bawakan? inikah kasih sayang yang kuserukan? Tidak, aku harus melakukan sesuatu untukmu, Dik !! Tunggulah, aku akan mencarikan biaya untukmu.
Dalam kondisimu yang semakin memburuk aku semakin takut. Aku benar-benar takut kehilanganmu. Kamu semakin sering tidak sadarkan diri. Ya Allah, kurasakan aroma sakaratul maut semakin dekat di ruangan ini. Kuraih tangan ringkihmu. Inilah tangan yang dulu sering memelukku dari belakang, menutup mataku dan menyuruhku menebak siapa dia, dan tentu saja aku tahu, tak ada tangan yang segemuk punyamu, Dik.
“Pasti si roti pawaw” kutebak dengan julukanmu itu dan kamu tertawa.
Tapi, kini tangan itu tak mampu bergerak lagi. Kuusap air mata yang merembes di pipimu, kamu menangis. Apakah kamu merindukanku? merindukan kami saudarimu yang telah melupakanmu? sudikah kau memaafkan kami, Dik?
Aku mendekatkan bibirku ke telingamu meski aku tak tahu apakah saat itu dirimu sadar atau tidak. Kubisikkan kalimatullah, mencoba menuntunmu menyebut nama-Nya “Laa Ilaaha illallaah… laa Ilaaha illallah…” bibirmu bergerak dan aku mendengarmu bersusah kata, “Allah… Allah..."
Ya Tuhan, apakah ini sakaratul maut? sesakit inikah? Ya Rabbal izzati… hatiku bergetar takut.
“Allahummaghfirlaha, Allahummarhamha… Ampunilah dia, Rahmatilah dia…”
Kamu kembali tak sadarkan diri hingga setelah sore hari aku harus kembali pamit pulang pada ibumu.
****
Aku baru saja selesai shalat subuh. Rencananya, hari itu aku akan mengambil surat keterangan tidak mampu untukmu, agar kamu bisa dirawat di rumah sakit. Aku begitu bersemangat.
Sesaat kemudian, kuterima dari telepon dari ukhti Uni. Aku pikir mungkin dia mengajak menjengukmu lagi, tapi aku ternyata salah. Berita yang aku terima sungguh sangat membuatku terguncang menghantam luapan semangatku yang terbangun pagi ini dalam sekejap .
“Ukhti, adik kita, Diana… dia meninggal tengah malam tadi,” katanya terputus-putus sesenggukan.
“Innalillahi wa innailaihi roji'un”
Sekejap mulutku terkunci, tak mampu berkata-kata, serasa ada benjolan besar di tenggorokanku yang siap meledak. Tak kuhiraukan Uni yang terus memanggilku dan menyuruhku bersabar. Aku terduduk menangis, menumpahkan segala kesedihanku, penyesalanku, keacuhanku, ketidakpedulianku, keegoisanku.
****
Baru saja jenazahmu dibawa dari rumahmu. Ibumu sejak tadi tak sadarkan diri. Kakakmu yang kamu bilang membencimu ternyata sangat menyayangimu. Dia yang merawatmu selama kamu sakit. Begitu banyak orang yang datang melayatmu, menghantar jenazahmu, mensholatimu. Wajahmu terus berkelabat dalam benakku, senyummu, tawamu, manjamu, semangatmu. Dan aku terus menahan tangis. Aku hanya bisa menahan tangisku menatap iringan membawamu ke tempat pembaringan terakhirmu.
Dik, kakak tak mampu menemanimu lagi seperti dulu. Tak akan ada lagi telepon-teleponmu yang bisa kurindukan. Tak ada lagi coklat atau cerita-cerita tentang hidupmu.
Dik, maafkan kakak, Semoga kau tenang disana. Yaa Rabbana… []
* Untuk adikku, Diana semoga dalam perlindungan-Nya.
** Mahasiswa Tingkat II, Islamic Call College, Tripoli-Libya.
Wajahmu yang dulu penuh semangat berhias senyum ceria sekarang terlihat begitu berbeda, entah kemana semangatmu dulu. Dan tubuhmu yang dulu begitu segar bugar penuh keanggunan, ya Allah… sekarang terlihat kurus pucat seolah penuh ketidakberdayaan. Sakitkah dirimu?
Dulu, setiap kali kita berkumpul kamu akan menceritakan semua pengalamanmu padaku, bibirmu akan terus berceloteh tanpa henti, berapi-api. Aku selalu menjadi pendengar setiamu. Tapi, kini kamu hanya diam membisu tanpa berkata apa-apa.Saat kutanya sesuatu, kamupun hanya menjawab singkat untuk diikuti kesunyian yang lain.
Dik, tahukah kau betapa banyak yang ingin kutanyakan kepadamu? Tapi, aku tak ingin menambah penatmu dengan pertanyaan-pertanyaanku. Kubiarkan kita menikmati kesunyian hingga akhirnya kamu terlelap. Kuperhatikan keteduhan wajahmu saat kamu tidur, dan kugantungkan beribu pertanyaan pada waktu? Saat terbangun, kamupun hanya pamit, pergi tanpa sedikitpun kutahu “ada apa?”
****
Aku kembali ke duniaku; kuliah, lab, amanah dakwah. Dan aku kembali melupakanmu, hingga di kemudian hari seorang temanmu mengabariku melalui telpon bahwa kamu sudah sepekan sakit. Akupun terdiam di ujung telepon.
Kurencanakan untuk segera menjengukmu. Aku pergi ke rumahmu bersama beberapa akhwat lain. Hatiku miris. aku baru kali ini ke rumahmu, Dik. Ya Rabb, aku baru menyadari betapa aku tidak pernah memperhatikan saudariku yang telah memberi perhatian luar biasa padaku selama ini. Hatiku sangat perih melihat keadaanmu. Tubuhmu begitu kurus seolah aku tak pernah mengali dirimu. Tubuhku bergetar, dadaku sesak menahan tangis. air mataku tak kuasa kubendung.
Aku mendekatimu. Disana dirimu berusaha tersenyum meski yang kulihat adalah ringisan menahan sakit. Kutahan perasaanku. Aku memelukmu, mencium keningmu, yang diikuti akhwat lain. Kuberusaha menghiburmu meski sebenarnya di lubuk hati aku menangis meratapi acuhku selama ini.
Aku mencoba bertanya pada ibumu kenapa kamu tidak dibawa ke rumah sakit, namun hanya kutemukan jawaban yang menghempaskan perasaanku hingga hancur berkeping-keping. Kamu menderita kanker kelenjar getah bening, katanya. Dan karena ekonomi yang sulit, kamupun hanya dibawa ke puskesmas setelah pernah dikeluarkan dari RS hanya karena tak mempunyai uang untuk biaya berobat.
Ya Tuhan, apa gunaku selama ini? inikah ukhuwah yang aku dengungkan selama ini? inikah ikatan persaudaraan yang selalu kuikrarkan di setiap majlis yang aku bawakan? inikah kasih sayang yang kuserukan? Tidak, aku harus melakukan sesuatu untukmu, Dik !! Tunggulah, aku akan mencarikan biaya untukmu.
Dalam kondisimu yang semakin memburuk aku semakin takut. Aku benar-benar takut kehilanganmu. Kamu semakin sering tidak sadarkan diri. Ya Allah, kurasakan aroma sakaratul maut semakin dekat di ruangan ini. Kuraih tangan ringkihmu. Inilah tangan yang dulu sering memelukku dari belakang, menutup mataku dan menyuruhku menebak siapa dia, dan tentu saja aku tahu, tak ada tangan yang segemuk punyamu, Dik.
“Pasti si roti pawaw” kutebak dengan julukanmu itu dan kamu tertawa.
Tapi, kini tangan itu tak mampu bergerak lagi. Kuusap air mata yang merembes di pipimu, kamu menangis. Apakah kamu merindukanku? merindukan kami saudarimu yang telah melupakanmu? sudikah kau memaafkan kami, Dik?
Aku mendekatkan bibirku ke telingamu meski aku tak tahu apakah saat itu dirimu sadar atau tidak. Kubisikkan kalimatullah, mencoba menuntunmu menyebut nama-Nya “Laa Ilaaha illallaah… laa Ilaaha illallah…” bibirmu bergerak dan aku mendengarmu bersusah kata, “Allah… Allah..."
Ya Tuhan, apakah ini sakaratul maut? sesakit inikah? Ya Rabbal izzati… hatiku bergetar takut.
“Allahummaghfirlaha, Allahummarhamha… Ampunilah dia, Rahmatilah dia…”
Kamu kembali tak sadarkan diri hingga setelah sore hari aku harus kembali pamit pulang pada ibumu.
****
Aku baru saja selesai shalat subuh. Rencananya, hari itu aku akan mengambil surat keterangan tidak mampu untukmu, agar kamu bisa dirawat di rumah sakit. Aku begitu bersemangat.
Sesaat kemudian, kuterima dari telepon dari ukhti Uni. Aku pikir mungkin dia mengajak menjengukmu lagi, tapi aku ternyata salah. Berita yang aku terima sungguh sangat membuatku terguncang menghantam luapan semangatku yang terbangun pagi ini dalam sekejap .
“Ukhti, adik kita, Diana… dia meninggal tengah malam tadi,” katanya terputus-putus sesenggukan.
“Innalillahi wa innailaihi roji'un”
Sekejap mulutku terkunci, tak mampu berkata-kata, serasa ada benjolan besar di tenggorokanku yang siap meledak. Tak kuhiraukan Uni yang terus memanggilku dan menyuruhku bersabar. Aku terduduk menangis, menumpahkan segala kesedihanku, penyesalanku, keacuhanku, ketidakpedulianku, keegoisanku.
****
Baru saja jenazahmu dibawa dari rumahmu. Ibumu sejak tadi tak sadarkan diri. Kakakmu yang kamu bilang membencimu ternyata sangat menyayangimu. Dia yang merawatmu selama kamu sakit. Begitu banyak orang yang datang melayatmu, menghantar jenazahmu, mensholatimu. Wajahmu terus berkelabat dalam benakku, senyummu, tawamu, manjamu, semangatmu. Dan aku terus menahan tangis. Aku hanya bisa menahan tangisku menatap iringan membawamu ke tempat pembaringan terakhirmu.
Dik, kakak tak mampu menemanimu lagi seperti dulu. Tak akan ada lagi telepon-teleponmu yang bisa kurindukan. Tak ada lagi coklat atau cerita-cerita tentang hidupmu.
Dik, maafkan kakak, Semoga kau tenang disana. Yaa Rabbana… []
* Untuk adikku, Diana semoga dalam perlindungan-Nya.
** Mahasiswa Tingkat II, Islamic Call College, Tripoli-Libya.
0 comments:
Posting Komentar