Sudah 8 jam aku berdiri di sini, di bibir pantai selatan, jawa timur. Kubiarkan riak pantai yang berbuih merendam kedua kakiku. Tanganku dengan ganasnya melempar batu-batu kerikil pada camar-camar yang berkejaran.
Di hadapanku terbentang lukisan Sang Pencipta, sebuah sileut yang membentuk rangkaian garis abstrak dengan paduan warna merah, orange, cokelat, serta bias warna alam lain yang dipantulkan dari satu warna, putih.
Mungkin raja planet itu ingin istirahat. Seharian tadi dia bekerja keras memeras tenaga. menghasilakan panas dan cahaya, termasuk siluet ini. Dia juga yang telah menemaniku dalam kesendirian, memeluk tubuh kurusku dan membelai hangat tiap helai rambutku.
Kini ia telah pergi meninggalkanku sendiri dan menyuruh seorang panglima mengawalku. Aku merasa kesepian. tapi tak apalah. Aku tidak akan memaksamu. Kau memang butuh istirahat. Terimakasih telah mengirim seorang panglima yang rupawan. bahkan kalau di bandingkan dengan wajahmu, kuakui dia memang lebih tampan.
Beratus bahkan beribu orang mencoba mengabadikan sang Panglima dengan sebuah alat digital. bahkan ada yang berusaha melukisnya menggunakan kuas dan cat. Memang indah, tapi tak seindah menatapmu secara langsung.
Di ujung sana tak jauh dari tempatkku berdiri tampak sepasang pemuda saling bergandeng tangan. Yang laki-laki kutaksir umurnya masih 17 tahun, mengenakan t-shirt berwarna biru beludru dipadu blue jeans dan sepatu sport. Sedangkan si gadis umurnya mungkin baru menginjak 15 tahun, mengenakan blend top berwarna dusty pink dengan motif bunga-bunga dan belt hijau segar. Di lehernya tergantung kalung panjang dengan bandul. mirip kalung pendeta!!! Anak muda zaman sekarang memang ada – ada saja. Mereka mengadopsi secara total style para seleb barat. Tidak hanya model baju yang mereka tiru. tapi cara berpikir, moral, bahkan dalam memilih jenis makanan. Kata mereka, itulah mode. Kalau ngga’ ikutan seperti itu bakal di cap pemuda kuper, kampungan, ngga’ modis, de el el. Uh…bangsa ini benar-benar telah kehilangan moral. Entah akan jadi seperti apa bangsa tercinta ini sepuluh tahun kedepan.
Mereka berjalan beriringan. Tapi kali ini tangan kanan si gadis melingkar di pinggang sang pemuda. Kepalanya disandarkan ke bahu kekasinya. Si pemudapun tak mau ketinggalan. Diraihnya tangan kiri gadis, dan tubuhnya ditarik hingga antara badan mereka hanya berjarak beberapa sentimeter saja. Keduanya saling pandang. Bisik angin laut memberikan getar-getar gairah. Entah apa yang terjadi setelah itu. Aku tak mau ikut campur. Itu urusan mereka. Hanya saja kuberharap si gadis tidak terlalu terlena dengan hubungan itu hingga rela memberikan sesuatu yang amat berharga dari dirinya.
Ah..kenapa aku harus memikirkan dua orang pemuda tadi? Kenapa aku berburuk sangka pada mereka berdua? Padahal boleh jadi mereka sudah resmi menikah meskipun hanya di bawah tangan (tidak melalui KUA) sebab zaman sekarang jarang-jarang ada anak muda menikah pada usia dini. Yang banyak terjadi malah merried in accident.
Kualihkan pandangan ke sisi lain. Sepasang manusia berkumpul seperti kumpulan ombak yang meninggi dan melandai. Kulihat sebagian dari mereka terayun-ayun di hempas ombak dengan pelampung hitam melingkar di pinggang. Tak jauh dari tempat itu kaki-kaki kecil berlari-lari di tepi pantai.
Aku kembali menatap langit yang mulai tampak gelap. Tiba-tiba tanpa diminta, memory otakku berputar, berproses, dan menampilkan file-file yang telah lama ku “delete”. Segurat wajah buas kini membayangiku.Tubuhku bergetar, otot-ototku meradang….TIDAKK….BAJINGAN BEJAT……. ahhhhh…tidakkkk …..pergiiiiiii. aku mencoba berteriak selantang mungkin. berharap bayangan mengerikan itu hilang dari ilustrasiku. Namun semakin aku berteriak, wajah keparat itu semakin menari-nari. Tawanya yang menyeringai…bola matanya yang hitam tajam, menakutkan seperti pucuk senjata…otot kaki dan tangannya yang kekar dan bertato mampu mematahkan persendian tubuh lawannya. Lukisan naga menjalari separuh tubuhnya yang tambun. Ufff…, bagiku berhadapan dengan malaikat maut lebih baik daripada melihat sosoknya. Tak hanya perbuatannya yang bejat, tapi juga setiap kata yang diucapkannya seringkali menikam ulu hati. “Benar-benar manusia anjing….kau..Tamim!!!!” teriakku lagi sambil melempar sandal jepit swallow yang kupakai ke arah pantai. Aku tak peduli jika harus berjalan dengan kaki telanjang atau permukaan kakiku akan kasar dan terluka. Aku hanya ingin menumpahkan perasaan sesak ini. perasaan yang selama ini kusimpan saja tanpa bisa melawan. Tuhan…kapan Kau akan memberiku kebahagiaan? Ugghhh… mulutku terasa kering. Pita suaraku serasa hampir putus . Mungkin suaraku tadi terlalu kencang. Tapi biarlah…sekalipun pita suaraku putus, itu tak mengapa bagiku. Toh, aku sudah tak punya harapan untuk hidup.
“Ada apa dengan gadis itu?” sayup-sayup terdengar bisikan –bisikan dari belakang.
“iya, kenapa ya?”
“Ge-I-El-A kali…..!
“dia..cas…cis…..cus…..”
“stt…jangan buruk sangka dulu….”
Dadaku turun naik mendengar ocehan itu. Dengan cepat kubalikkan tubuh. Ternyata puluhan orang-orang sudah ada dibelakangku. termasuk dua pemuda yang kuperhatinkan tadi. Layaknya mendapat tontonan topeng monyet gratis, mereka berkerumun membentuk setengah garis lingkaran. saling berbisik dan sesekali menatap remeh ke arahku.
“Maaf, ada apa ini?” aku bertanya dengan sedikit heran.
Semuanya langsung terdiam membisu.
“Ayo…jawab!!! Sudah capek hah??? Suaraku agak meninggi dan balas menatap mereka dengan sorot mata tajam dan menantang. Biar mereka tahu bahwa aku masih waras.
“Baik…silahkan kembali. Tidak ada yang perlu ditonton”. kuberanikan diri untuk member ultimatum.
Satu menit…dua menit…mereka masih mematung dan akhirnya membubarkan diri, kembali pada aktivitas masing-masing.
“Wong edan….” Sayup-sayup terdengar dari kejahuan. Aku tidak bisa menebak siapa yang mengucapkannya. Uh…dasar pengecut, beraninya cuman dibelakang!!!
***
Rumah lux perpaduan gaya Eropa, Jawa, Minang, dan jepara itu terlihat ramai. Rumah mewah berukir dahsyat, indah, nyentrik, dan eksotis. Kayu-kayunya terbuat dari jati yang - konon katanya- langsung di datangkan dari philipina dilapisi warna emas campur polet tembaga kehitaman. Di beranda rumahnya telah berdiri tegak tenda-tenda besar nan indah dilengkapi jajaran kursi dan meja yang diatur sedemikian rupa untuk menyambut para undangan. Depan pagar dibuat papan ukiran berbentuk gapura dililiti lampu-lampu hias kecil yang dipasang secara paralel. Rupanya malam ini adalah acara pernikahan anak bungsu Pak Tamim, Adinda Reihana Lubis.
Jangan ditanya bagaimana meriahnya acara pernikahan malam itu. Semua masyarakat desa Panti dari lapisan atas sampai bawah diundangnya. Tamu-tamu undanganpun banyak yang berasal dari kalangan elite masyarakat minangkabau. Maklum Pak Tamim adalah salah seorang pengusaha ekskutif kelapa sawit terbesar negeri Sembilan ini. Luas kebunnya mencapai 300 hektar persegi. Orang terkaya se-Minangkabau.
Gong dan rebana sudah dipukul tiga kali oleh talempo dan saluang, pertanda acara pementasan segera dimulai. Aku bersama empat orang lainnya, Saleh, Dimas, Romi, dan Ratih juga telah siap berada di puncak stage untuk membawakan tari piring. Tiga minggu sebelumnya kami harus latihan teratur sebab tarian ini tidak hanya mengandalkan gerak tapi berhubungan dengan penafasan dan keseimbangan tubuh agar ketika piring-piring berada di kedua tangan tidak terjatuh, apalagi sampai pecah.
Musik mulai dimainkan. Kami mengambil ancang-ancang untuk melakukan sembah pengantin, yaitu gerakan khusus yang dimainkan sebagai awal permulaan tari piring. Gerakan ini dilakukan sebanyak tiga kali sebagai tanda hormat pada pengantin. Aku sendiri bingung dengan falsafah tarian ini. katanya jumlah penari tidak boleh genap, harus ganjil. Ah…aneh-aneh saja.
Sebenarnya aku bukan gadis minang asli. Aku dilahirkan di pulau garam sana, sebuah pulau yang cukup luas dan memiliki komunitas penduduk yang cukup pesat, Madura. Aku terl;ahir sebagai gadis blasteran, bukan perpaduan Indonesia-Jerman, atau Indonesia Arab, tapi campuran darah Madura-Jawa. Tidak ada garis keturunan yang menghubungkanku dengan darah minang, baik dari pihak ayah ataupun ibu.
Aku masih ingat. ketika itu tahun 1996, aku masih duduk di kelas II SMP. Tahun itu merupakan masa-masa sulit bagi kehidupan keluarga kami. Ayah dan ibuku hanya bekerja sebagai buruh tani tembakau. Itupun hanya dilakukan saat musim kemarau tiba. Kalau musim hujan, ayah bekerja sebagai tukang becak atau kondektur bus antar propinsi. sedangkan ibu menjual makanan kecil dan dijajakan ke sekolah-sekolah negeri dekat rumah.
Aku ingat betul. Hari itu, hari Ahad tanggal 15 november. Seperti biasa, kalau hari libur sekolah aku ditugaskan ibu untuk mengantar makan siang buat ayah ke sawah pak Mul. Di atas meja sudah tersedia tiga susun rantang dan sebotol air minum.
“pangastete ye, nak. Bile mare, langsung abeli ka roma. Ebo’ arassa ta nyaman”
Nasihat ibu, dengan logat maduranya yang halus sebelum aku pergi.
“enggi” kataku mengiyakan, tanpa banyak bertanya.
Jarak sawah dengan rumah tak terlalu jauh. hanya tigaribu meter saja, melewati dua desa sekaligus. Letak sawah pak Mul sendiri di desa Ambat. Ada sekitar 30 orang pekerja yang bertugas merawat hektaran tanahnya. Jika musim tembakau tiba biasanya jumlah itu semakin meningkat karena sifat khas tembakau yang butuh perawatan extra. Di desaku, Waru, tidak mudah menanam berbagai jenis tanaman. Tanah yang kering serta irigasi yang jelek membuat masyarakat hanya bergantung pada hasil jagung dan tembakau atau singkong. karena ketiga jenis varietas itulah yang bisa bertahan di atas tanah dengan kadar air sedikit. Oleh karena itu, banyak penduduk yang bekerja sebagai buruh tani di desa lain untuk menambah penghasilan keluarga.
Belum sampai ke tempat tujuan, aku dikagetkan oleh suara teriakan, meluap-luap seperti dibakar bara. Entah apa yang sedang terjadi.
“Bakar……!!!
“Bunuh……!!!”
“Cincang…masak…goreng….tukang babi ngepet jangan dikasihani…..!!!”
Amarah mereka semakin menjadi-jadi. Sumpah serapah terucap tak terkendali. Brutal, kejam. Tangan-tangan mereka terkepal ke udara.
Aku tercengang. Kelu. Dadaku seketika turun naik. Nafasku tersengal-sengal. Kaki dan tangan bergetar, terasa ngilu untuk melangkah. Aku masih tak percaya dengan adegan yang kulihat. Sekelompok manusia berpakaian hitam dilengkapi caping terlihat marah besar. Di tangannya tergenggam sebilah clurit tajam, siap menggorok leher-leher yang dianggap telah menghianati adat. Mereka liar seperti binatang. Melolong bagai serigala kesurupan. Menyalak seperti anjing kekurangan makan. Disisi lain, sejumlah manusia juga tak kalah seram. Di tangan dan punggung mereka terhunus belati tajam dan sebuah anak panah. Mereka menggunakan kaos belang berwarna merah-putih. Mata mereka memerah menahan amarah. Tangan-tangan mereka terkepal seperti hendak melayangkan tinju begitu mangsa tampak depan mata. PERANG ANTAR DESA atau lebih tepatnya PERANG SAUDARA.
Di desa kami sudah menjadi adat jika salah satu dari masyarakatnya dituduh, dihajar, atau bersengketa dengan desa lain, maka seluruh komponen masyarakat akan membelanya. Tidak pandang apakah dia benar atau salah. Prinsip mereka, jika salah satu anggota tubuh sakit, maka anggota tubuh lain turut merasakannya. Filsafat yang sungguh menyesatkan. SUKUISME.
“Fitnah….itu bohong….!!!”
“Seret….ludahi… dan buat mereka seperti perkedel!!!!”
“Jangan takut saudara-saudaraku…. lawan kejahatan……. Allahu akbar!!!”
Hah…tega-teganya mereka menyebut asma Allah saat melakukan kemungkaran. Ini bukan perang badar atau khandak. Bukan perang antara muslim dan kaum kafir untuk meninggikan kalimat Allah. Malah perang antar sesama muslim. Sebenarnya bukan muslim kukira, karena agama mereka sebatas tulisan pada kartu berkuran 9X6 cm.
“Hajar…!!!”
Suara-suara itu semakin berisik, bergemuruh, mendentum-dentum terdengar tidak sabar. Mereka sudah kehausan darah.
Aku bingung. Tak mungkin badan kecilku menyerobot sekawanan manusia yang sedap kalap itu. Buliran keringat sebesar biji jagung mengucur deras seperti aliran sungai Kapuas. Hanya satu yang harus segera kulakukan. LARI dan segera melapor ke ibu tentang perinstiwa ini.
Lamunanku terhenti saat Romi telah menyelesaikan silat pulut sebagai sembah pengantin terakhir. Kini giliranku memulai tarian dengan mencapai piring yang diatur dalam berbagai bentuk dan susunan di hadapan pengantin, mengikuti jumlah yang diperlukan penari. Dalam waktu yang sama aku juga harus menyarungkan cincin khas yang dipasang di jari tangan kanan dan kiri agar saat menari terdengar irama ting…ting…ting, hasil ketukan jari. Setelah itu aku harus memegang piring dan mengayunkan tangan ke kanan dan ke kiri mengikuti rentak musik yang dimainkan, diikuti ketiga temanku tadi. Kalau saat sesembahan aku menari dengan Dimas, kali ini kami berganti pasangan. Aku berpasangan dengan Romi, Dimas dengan Ratih. Sedangkan Saleh sendiri.
20 menit kami menari. Suara tepuk tangan membahana. Para tamu menganggukkan kepala dan tersenyum puas. Keahlianku dalam menari memang tidak bisa dianggap sepele. Firasat ibu benar. Manusia-manusia binatang tadi tidak hanya bergumul dengan kampungnya sendiri, tapi merambah ke desa lain. Pak Mul pemilik lahan terluas itu dianggap telah melakukan ajaran sesat. Warga desa Ambat dan pekerja tak mau ambil diam. Mereka membela Pak Mul, sedangkan penduduk desa Pakong tetap pada pendirian. Tepat jam 12 siang terjadilah insiden berdarah, dan ayahpun tewas. bukan sebagai pejuang yang dikenang atas jasa-jasanya, melainkan hanya sekedar buruh tani yang berusaha membela tuan tanahnya. Tidak ada upacara saat pemakamannya. Tidak ada penghormatan terkhir atas jasanya membela masyarakat Ambat. Meskipun demikian, bagiku dan bagi ibu, beliau sosok pahlawan setara Teuku Umar atau Tuanku Imam Bonjol.
Mendengar kabar tersebut ibu shock berat. Beliau stress. Nasi jarang disentuh. Yang dilakukannya hanya menangis sepanjang hari. meratapi foto ayah, dan kadang mengelus-elus baju almarhum. Dari hari ke hari bobot badannya semakin menyusut. Kilatan perak dari rambut membuat wajahnya semakin tampak tua. Tidak ada yang bisa dilakukan oleh ibu. Otot kaki dan tangannya seakan melepuh. Sosok yang demikian sabar dan tangguh tak kudapati lagi. Aku tidak tega melihat keadaannya. Kadang..., setiap selesai sholat aku berdoa kepada Tuhan untuk mengembalikan ayah agar ibu bisa tersenyum kembali. Ah..ibu…bagaimana keadaanmu saat ini?
Keadaan itulah yang membuatku harus nyinden dari rumah ke rumah, dari desa ke desa untuk menghibur tamu undangan jika ada kenduri ataupun selametan. Tak jarang aku harus meliukkan tubuh, menari - bukan berjoget -. Seiring perputaran waktu namaku mulai dikenal masyarakat luas. merambah dari desa ke kota. Tidak hanya itu, bahkan namaku telah membumbung sampai pelosok negeri, termasuk wilayah ini.
Sejak usia delapan tahun aku sudah menguasai beberapa tarian adat, termasuk tari piring ini. Hebatnya, tak ada seorangpun yang mengajariku. Aku hanya melihat dan belajar dari kepingan CD. Autodidak. Setiap pulang sekolah, sahabatku Mia mengajakku ke rumahnya yang kaya raya itu untuk belajar kelompok. setelah selesai dia akan mengeluarkan koleksi CD tarian-tarian daerah pemberian ayahnya-seorang sastrawan terkemuka yang dijuluki Si Clurit Emas.
Music berhenti. Kali ini adalah tugas terberat yang harus kami lakukan, yaitu melontar piring ke udara atau di hempas ke tanah sambil memijak-mijak kaca yang telah dipecah berukuran tiga hingga delapan sentimeter. Dalam hal ini ada sesuatu yang sampai saat ini belum kuketahui. Sebelum pentas biasanya kami melakukan ritual latihan pernafasan dan meditasi. Datuk yang tak lain sang pelatih mengucapkan mantera dan menyuruh kami duduk bersila. Kaki kanan harus diatas kaki kiri. Saat latihan pandangan harus focus pada satu titik, satu gerakan. Semacam yoga. Hal itu dilakukan setiap3 jam sehari selama 3 minggu berturut-turut. Ada pula anjuran untuk berpuasa selama 7 hari berturut-turut. Dan….ajaib….saat kaki-kaki kami menginjak kaca ataupun batu-batu tajam, kulit kami tidak cedera. Kami merasa menginjak sisi kasur yang empuk. Entahlah……aku bingung memikirkannya.
***
Tepat jam 00.00 semua acara telah usai. Para undngan telah banyak yang pulang. Hidangan makanan dan minuman juga habis tak tersisa. Langsung setelah acara usai, sang mempelai meluncur menuju sebuah hotel megah di tengah kota yang dikenal dengan…. Ah…mereka tentu saja bahagia, seru batinku. Kapan aku seperti mereka? aku berangan - angan sendiri memainkan fantasiku. Ah… seandainnya ada pemuda baik yang melamarku…., memperkenalkan identitasku pada keluaarganya…, akad nikah…., lalu….
“Hei…jangan melamun dong” tiba-tiba Romi menyentuh pundakku. Sontak aku terkejut dan fantasi yang kubangun hilang seketika.
“Huh…ga bisa liat orang seneng ya? aku sedang bermimpi tentang masa depan..”
Romi terkekeh. “Sudahlah…jangan berangan-angan. Dia lalu duduk disampingku. Sorot matanya sendu memandang ke depan. Air muka yang tadinya tampak ceria langsung berubah 180 derajat. Entah apa yang sedang dipikirkannya.
“Hidup itu seperti air, mengalir. Ikuti saja jalurnya. Tak usah kau membayangkan sesuatu terlalu jauh. Kadang impian bisa jadi kenyaataan. Namun terkadang kita harus berlapang dada ketika apa yang kita inginkan tidak bisa diraih” ujar Romi, tanpa diminta.
“Irma.. aku sama seperti kau” dia memandangku sejenak, dan kembali menekuri lantai. Setelah lulus SMA aku bercita-cita ingin kuliah jurusan kedokteran. Aku mempunyai keinginan besar menjadi spesialis jantung. Namun untung tak dapat diraih. Semuanya hanya menjadi angan-angan setelah…
“Hei…kalian berdua, cepat kesini!” pak Tamim menunjuk ke arah kami. Pembicaraan terputus. Padahal aku masih ingin mendengar kisah hidupnya.
“Nanti kita sambung lagi” ujar Romi berbisik
Aku tersenyum seraya mengangguk.
“Kalian tidak usah pulang dulu. Mobilku sedang rusak. Malam ini kalian menginap saja di sini. Besok pagi kalian akan diantar oleh Rusman, sopir pribadiku”
Kami senang bukan main mendengar tawaran tersebut. Rumah ini seperti istana. Tidak pernah kami membayangkan sebelumnya tidur dikamar luas beralaskan kasur empuk, berselimut tebal dan lembut, serta tidak diganggu oleh nyamuk-nyamuk nakal.
“Masing-masing kalian mendapat satu kamar. Ada 4 kamar di lantai 3. Untuk seorang lagi harus tidur di kamar lantai 2. Tapi jangan khawatir semua kamar sudah dipersiapkan dengan baik. Bagiku kalian adalah raja yang harus dihormati”
Kami mengangguk-angguk seraya mengucapkan terimakasih atas kebaikannya. Saleh, Dimas, dan Ratih kebagian kamar di lantai 3. Jadi mau tidak mau aku harus tidur kamar lantai 2, terpisah dari mereka. Bagiku tak jadi masalah. yang penting malam ini aku bisa tidur lelap. Badanku sudah sangat lelah.
Jam 2 malam, aku mendengar pintu kamar di ketuk-ketuk oleh seseorang. Namun aku tidak menghiraukannya. Aku tak mampu membuka kedua kelopak mata. Sangat berat, seperti di lem castol. 5 menit kemudian aku tak mendengar ketokan itu lagi. Yang aku dengar suara kunci yang sedang diputar. Aku tidak menghiraukannya. “Ah..paling-paling yang datang Ratih, numpang tidur di sini. Anak itu memang paling tidak bisa tidur sendiri. “Takut ada hantu”begitu alasannya.
Namun aku kaget luar biasa setelah kurasakan sebuah tangan mengelus-elus tangan dan kakiku. Pak Tamim!!!!aku segera terbangun dan merapatkan tubuh ke ujung ranjang. seluruh persendianku gemetar. Aku hanya memegang erat selimut tadi.
“Maaf Paaak, aaada apaaa iiiini?” tanyaku gugup
“Irma sayang…maukah malam ini kau tidur bersamaku?”matanya berkedap-kedip, mencoba mendekatiku.
Aku semakin gugup. Secepat kilat aku berlari ke arah pintu. Sekuat mungkin aku mencoba membukanya, namun tak berhasil.
“Pintu itu telah ku kunci. Ruangan ini juga telah ku disain kedap suara. Jadi meskipun kau berteriak sampai tekakmu putus, tidak akan ada seorangpun yang menolongmu. Teman-temanmu sudah kuberi obat tidur. Jadi tidak mungkin mereka akan terbangun sampai esok hari” suaranya menggelegar, memecah langit-langt kamar.
Keringat dingin mulai membanjiri. Mukaku tampak semakin pucat. Aku semakin terisak.
“Sudahlah sayang..jangan menangis, kau aman bersamaku. Laki-laki tambun berkumis tebal itu berjalan perlahan mendekatiku. Aku menyingkir dan berpegangan erat pada sofa samping kasur. Seperti lakon tom and jerry, kami saling mengintai, memburu satu sama lama lain
“Jangan takut, ayolah..”binatang itu mulai tak sabar. Di bukanya piyama dan celana kolor yang menutupi tubuhnya. Yang tersisa hanyalah segitiga pengamannya.
Aku malu melihatnya. Cepat-cepat kualihkan pandangan sambil berupaya mencari sesuatu yang bisa membuatnya jatuh tersungkur. Tidak ada pisau atau barang-barang tajam di sini. Yang ada hanya alat-alat kosmetik memenuhi meja rias.
Tak kusangka pria yang disegani masyarakat karena kekayaannya ini ternyata lebih biadab dari anjing.
Pria itu semakin mendekatiku. Aku mundur beberapa langkah, siap mengambil ancang-ancang. Tapi malang, kakiku terpeleset. Aku jatuh tersungkur. Pelipisku berdarah mengenai ujung meja yang runcing. Ternyata laki-laki itu telah memolesi lantai dengan pelumas, sehingga aku tak bisa lari dari cengkramnannya.
Dengan cepat dia memegang kedua tanganku. Aku meronta. Pandangannya buas bagaikan serigala liar yang kelaparan.ia berusaha memangsaku. Aku terus melawan sekuat tenaga. Aku berusaha mempertahankan kehormatanku. Lebih baik aku mati daripada diperkosa.
Aku terus melawan, meronta, menendang, mencakar, meludahi. Namun aku tetap seorang wanita, tenagaku tak sebanding dengan tenaganya. Kekuatanku tak mampu menandingi kekuatannya. Aku nyaris tak berdaya karena kehabisan tenaga. Baju yang kukenakan telah koyak sana-sini, tidak sempurna lagi. Anjing itu berhasil membuka rok span yang kukenakan dengan paksa. Dia terus berusaha mencumbuiku. Tangannya bergerak-gerak meraba-raba alat tubuhku yang paling vital. Aku semakin menjerit dan menagis. Aku ingin terus memberontak, tapi tak bisa. Otot-otoku telah melemas. Rasanya seperti mau mati saja.”Allahu…. akbar” hanya itu yang bisa kuucapkan.
Dan sungguh aneh…luar biasa!!!!. Aku seperti mendapat bantuan kekuatan. Dengan sekuat tenaga aku mendorong tubuhnya yang besar itu. Dia jatuh terpelanting. Kepalanya terantuk pada lantai berlapis marmer. Darahnya mendidih. Emosinya semakin tak terkendali.
“Setan alas!!!”. Dia bangkit mencoba memburuku. Tapi untung minyak yang di tuangkan sendiri ke lantai membuatnya susah untuk bergerak.Tak kusia-siakan kesempatan itu. Dengan cepat aku melakukan tendangan memutar sekeras-kerasnya ke arah kemaluan pak Tamim. Tendanganku mengenai sasaran. Pak Tamim langsung terjatuh dan mengerang kesakitan. Aku sedikit lega.
Laki-laki itu ternyata tak mudah menyerah. Dia masih berupaya bangkit dan mengejarku. Aku kehabisan cara. Kuraih botol minyak rambut yang ada di meja dan kupecahkan bagian ujungnya. Aku mencoba menakuti-nakutinya dengan menjunjung pecahan botol tersebut. Pria itu tetap tak gentar. Dan akhirnnya….crasssss. Kuhujamkan benda itu tepat di ulu hatinya. Seketika tubunya ambruk. Darah muncrat dan mengucur deras dari tubuhnya. Matanya membelakak menahan sakit. Aku tak peduli. Kebencianku sudah tak tertahan lagi. Dan….pada detik ke sepuluh jantungnya sudah tak berdetak lagi.
***
Esoknya berita segera tercium oleh pihak keluarga dan wartawan. Puluhan media massa mencoba mengexspose kasusku. “ORANG TERKAYA se-MINANGKABAU COBA GAGAHI PENARI PIRING” atau dengan judul berbeda tapi satu tema “PENARI ANDALAN SELAMATKAN KEHORMATAN”.
Rupanya Tuhan masih ingin menguji kesabaranku. Aku di vonis 5 tahun penjara. Namun teman-teman tak menyalahkanku. Prinsip mereka sama. menjaga kehormatan adalah segala-galannya. Masyarakat sekitar juga mendukungku. Mereka menghujat laki-laki kaya yang telah mati di tanganku sendiri. Selama di penjara aku masih shock dengan kejaadian itu. Setiap ada laki-laki yang berusaha mendekatiku, aku langsung berteriak histeris. Terkadang aku menjambak rambutku dan memukul-mukul badanku sendiri. Peristiwa terpahit sepanjang sejarah perjalanan hidupku. Lama…sekali waktu yang kubutuhkan untuk kembali normal.
Setelah dari penjara, aku dikirim ke pusat rehabilitasi penanganan gangguan psikologi. Aku dibimbing oleh seorang dokter muda bernama Syaifullah. Dari beliaulah akhirnya aku bisa melupakan masa lalu yang begitu suram dan berupaya untuk menatap indahnnya dunia. Beliau pula yang mengajariku sholat dan ritual lain dalam Islam. Bersama beliau aku merasakan ketenagan dan kebahagian. Tapi sayang, setelah tiga bulan aku harus berpisah dengannya, pulang ke kampong halaman-ke sebuah pulau yang sejak sepuluh tahun ku tinggalkan. Akupun sudah sangat merindukan Ibu…
****
“Pengumuman…bagi anda yang berpenumpang ferry, jurusan Madura dan kalianget diharap segera bersia-siap, karena sebentar lagi kapal akan berangkat”
Ahh akhirnya bisa berangkat juga, setelah delapan jam aku harus menunggu karena ada kerusakan kapal. Cepat-cepat ku bawa sebuah ransel punggung dan berjalan perlahan menuju dermaga. Ups…aku baru sadar ….sandal jepit swallow yang kukenakan sudah hanyut tertelan arus. Ah…tidak mengapa…., yang penting bisa selamat sampai tujuan. Ibu….aku datang menemuimu…………. I LOVE U BUNDA
****
Lady aneeza’08
AKU DATANG MENEMUIMU
20 Agu 2008
Posted by kkmi
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 comments:
Posting Komentar