Oleh: Zenta
Lemah lunglai hatiku tercabik sesuatu: panorama yang indah tak dapat lagi aku rasakan, manisnya madu dan pahitnya empedu tidak bisa aku bedakan, gelap maupunn terang tidak dapat aku mengerti. Masih hidupkah atau sudah mati? Aku pun tak tahu. Dimanakah aku berpijak dan bagaimanakah keadaan diriku sungguh aku pun tidak dapat menangkap keberadaan ku sendiri
Jangankan tanggal dan bulan kamu tanyakan kepada ku, bahkan tahun berapakah sekarang, jika kamu tanyakan kepadaku, tidak akan bisa aku jawab. Banyak orang berkata bahwa purnama itu indah, bahwa bunga mawar itu harum, bahwa udara pagi itu segar, bagiku semuanya itu tidak ada artinya sama sekali, semuanya terlihat kelam dan gelap gulita.
Pesona keindahan yang ada di pelupuk mata adalah sesuatu yang fana. Kanan, kiri, depan, dan belakang hanyalah sebuah dimensi hayalan. Seolah-olah dimensi itu adalah sesuatu yang nyata namun sebenarnya adalah kefanaan. Ya, asal dimensi adalah kefanaan.
Kehampaan yang pasrah ketika malam menjelang. Kata orang jika malam datang kamu pasti akan dapat melihat senyum bintang maupun senyum purnama, namun mana? Malam ini tak ada bintang dan tak ada purnama, yang ada hanyalah kegelapan yang menyelimuti diriku.
Sesuatu yang hangat akan membuat kenyamanan, kata orang. Namun, aku tidak butuh kehangatan, yang aku butuhkan adalah sesuatu yang dingin, dingin, dan dingin. Langit yang biru muncul sebagai langit yang cerah tanpa awan, kata orang. Namun, apakah orang tidak memperhatikan bahwa langit yang biru tidak akan terlihat jika orang tidak menengadah ke atas.
Gemercik air yang suci berlari bagaikan kuda terlepas dari pelana, menjauh dan terus menjauh, dalam dan semakin dalam menembus-meresap ke tanah bagai air. Dan menelusup ke hutan semakin menghilang bagai kuda. Butuh dimensi bagi air dan kuda? Ya… keduanya butuh dimensi. Namun, apakah dimensi mereka sama dengan dimensi manusia?
Ah… aku jadi malu sendiri ketika pertanyaan itu muncul dari diriku karena aku adalah manusia. Seharusnya akulah yang dapat menjawab pertanyaan itu. Tidak layak bagiku untuk bertanya kepada pohon yang membisu, tidak layak bagiku untuk bertanya pada batu yang membuta.
Kedudukanmu dan kedudukanku, samakah? Kamu terlihat berada di atas sedangkan aku terlihat berada di bawah kamu, seolah-olah kamu mempunyai totalitas, loyalitas, dan dedikasi yang lebih tinggi dari aku, aku pun mengerti bahwa diri ini adalah rakyat jelata. Sunguh beda antara kamu dan aku. Kamu dengan mudah meraup angka-angka dalam bentuk kertas tanpa harus mengeluarkan keringat. Sedangkan aku harus berjuang sampai banjir keringat, itu pun yang aku dapat hanyalah angka yang lebih kecil. Entah berapa puluh kali lipat kecilnya dari angka yang kamu dapat.
Namun, inilah kebanggaan yang aku dapatkan, bukan nilai angka tersebut. Tetapi, keringat yang membanjiri badanku yang aku banggakan, nilai-nilai yang aku dapatkan juga bersih, suci, dan harum. Sesekali aku masih bisa memberi kepada saudara-audaraku walaupun jumlahnya tidak seberapa dengan jumlah sumbangan yang engkau berikan. Namun, apakah kamu tahu bahwa sumbanganmu itu tidaklah berarti karena nilai yang kamu dapatkan adalah nilai kotor, nilai yang berlumuran darah manusia.
Bak air, nilai yang aku berikan adalah air yang hanya satu gelas namun jernih dari mata air yang suci, sedangkan nilai yang engkau berikan bagaikan air yang berada di sungai namun air tersebut ternodai dengan aliran darah manusia. Sekarang aku bertanya kepada dirimu, manakah yang lebih bermanfaat air yang aku berikan atau air yang kamu berikan?
Mimpi kita pun berbeda, kamu ingin bermimpi untuk membeli pulau bahkan kamu hendak membeli bumi dan seisinya dengan nominal kotor mu, kamu tidak ingat dan mungkin tidak tahu bahwa apa yang kamu inginkan itu tidak akan bisa terwujud. Bahkan kamu akan kecewa ketika menyadari bahwa tanganmu semakin melemah, rambutmu semakin memutih, suaramu semakin mengecil.
Sekarang aku ingin mengutarakan mimpiku, dengar dan perhatikan, aku akan membeli surga dengan kejujuranku, dan aku tidak akan kecewa karena aku yakin bahwa aku akan mendapatkannya dengan kejujuranku. Ketika tenaga ini semakin melemah, rambut ini semakin memutih, aku semakin senang karena aku hampir mendapatkan surga yang aku pesan.
Kamu pernah mengatakan bahwa aku ini adalah orang yang dekil tidak tahu pergaulan, miskin, dan tidak berpengetahuan. Kamu pernah bertanya kepadaku, bahagiakah kamu hidup seperti ini? Akan aku jawab pertanyaanmu dengan pertanyaan, apakah kamu bangga berpakaian bagus namun dikotori dengan darah? Apakah kamu tetap makan lahap sedangkan makanan yang kamu makan adalah bangkai-bangkai manusia?
Aku bangga hidup sebagai orang yang dekil menurut kamu, aku bangga hidup sebagai seorang yang miskin menurut kamu, dan aku bangga menjadi orang yang tidak berpengetahuan menurut kamu. Jelas aku tidak tahu jika kamu tanya kepadaku, manakah alkohol berkualitas yang mempunyai rasa enak, atau manakah pakaian yang cocok untuk digunakan dalam pesta, sedangkan pakaian tersebut adalah pakaian yang melihatkan bagian tubuh yang seharusnya tertutup. Jika anak perempuan maupun istri kamu memakainya, itukah yang kamu banggakan?
Kamu bangga dengan sesuatu yang sebenarnya tidak pantas kamu banggakan. Kamu bangga dapat menyayat-nyayat tubuh orang lain lalu mengambil pakainnya, meminum darahnya, dan memakan dagingnya. Kamu bisa tertawa ketika orang lain menangis. Itu kan yang kamu sebut dengan kebahagiaan? Itu kan yang kamu sebut dengan hidup nyaman?
Itulah sebenarnya yang menjadikan hatiku semakin tercabik-cabik dengan kehadiranmu, bukan tercabik-cabik karena aku tidak bisa sepertimu. Namun, hati ini tercabik karena ulahmu yang telah melukai fakir miskin, aku tidak bisa menikmati keindahan malam purnama karena mataku tertutup, tertutup karena aku tidak bisa seperti mu? Bukan. Mataku tertutup dengan darah-darah manusia yang kamu peras.
Aku tidak tahu dimanakah aku berpijak, bahkan tahun berapa. Jangankan tanggal dan hari pun aku tak tahu. Bukan karena aku hilang ingatan ataupun aku sengsara hidup sebagai orang miskin, namun aku bingung sekarang aku hidup di zaman jahiliyah atau zaman modern? Bukankah risalah nabi telah sampai tapi kenapa masih ada orang yang mewarisi kejahiliyaan Abu jahal sehingga aku pun dibingungkan dengan masalah itu: hidup di zaman jahiliyah yang modern ataukah hidup di zaman modern yang jahiliyah.
Menurut kamu kehangatan adalah suatu kenikmatan. Berbeda denganku, kehangatan adalah suatu penyakit sehingga aku menginginkan sesuatu yang dingin, kenapa? Kehangatan yang kamu dapat adalah kehangatan dengan cara merebut selimut orang lain, bahkan kamu tidak segan-segan membunuh demi mendapatkan selimut maupun pakaian mereka.
Aku tidak ingin sama sepertimu karena aku dan kamu sekarang berada di bumi yang sama sehingga aku memilih sesuatu yang dingin dari pada aku mendapatkan selimut kehangatan dari hasil merampas dan membunuh. Sesuatu yang tolol, bukan? Itu menurut kamu karena pikiran kamu sudah ternodai, kebiasan kamu memakan bangkai telah membuat otak mu terletak di dengkul.
Silahkan kamu telusuri jalanmu itu. Namun, suatu saat aku akan menghentikan jalanmu karena jalan yang kamu tempuh adalah jalan sesat dan menyesatkan. Saat ini kita masih bisa berkumpul namun lihatlah beberapa tahun yang akan datang jalurmu akan aku rubah demi membahagiakan rakyat, janjiku tidak akan terabaikkan. Ingat-ingatlah kalau kamu tidak merubah jalanmu suatu saat tangan ini yang akan mengubahmu.
Tidak usah kamu berbangga diri dengan harta yang kamu miliki karena suatu saat harta tersebut tidak akan kamu bawa setelah kamu mati, kacuali harta itu halal dan kamu menafkahkannya kejalan yang halal. Janganlah kamu menghina fakir miskin karena bisa jadi derajat mereka lebih tinggi di sisi-Nya. Rasio tidak selamanya bisa dipakai karena di samping itu ada sesuatu yang tidak bisa diterima dengan rasio ataupun nurani, namun harus dilaksanakan, yaitu syariat yang datang dari Tuhan.
Hidup hanyalah sebagai jembatan menuju akhirat nanti. Renungkan sejenak, berapakah usia kamu sekarang? Kapan kamu pertama kali masuk sekolah taman kanak-kanak, lalu kejenjang sekolah dasar, dan tidak terasa akhirnya kamu tamat dari perkuliahan. Pasti terasa seperti baru kemarin, begitulah kehidupan. Tanpa dirasa tiba-tiba ajal sudah di depan mata.
Berbuat baik sebelum terlambat itulah kunci terakhir. Berbuat baik tidaklah perlu di tunda-tunda karena ajal selalu mengintai sewaktu saat bagaikan telur di atas tanduk. Jadi, masa depan adalah apa yang kita kerjakan pada saat ini. Singkatnya kehidupan di akhirat nanti ada kaitannya dengan kehidupan yang kita kerjakan saat ini.
Lemah lunglai hatiku tercabik sesuatu: panorama yang indah tak dapat lagi aku rasakan, manisnya madu dan pahitnya empedu tidak bisa aku bedakan, gelap maupunn terang tidak dapat aku mengerti. Masih hidupkah atau sudah mati? Aku pun tak tahu. Dimanakah aku berpijak dan bagaimanakah keadaan diriku sungguh aku pun tidak dapat menangkap keberadaan ku sendiri
Jangankan tanggal dan bulan kamu tanyakan kepada ku, bahkan tahun berapakah sekarang, jika kamu tanyakan kepadaku, tidak akan bisa aku jawab. Banyak orang berkata bahwa purnama itu indah, bahwa bunga mawar itu harum, bahwa udara pagi itu segar, bagiku semuanya itu tidak ada artinya sama sekali, semuanya terlihat kelam dan gelap gulita.
Pesona keindahan yang ada di pelupuk mata adalah sesuatu yang fana. Kanan, kiri, depan, dan belakang hanyalah sebuah dimensi hayalan. Seolah-olah dimensi itu adalah sesuatu yang nyata namun sebenarnya adalah kefanaan. Ya, asal dimensi adalah kefanaan.
Kehampaan yang pasrah ketika malam menjelang. Kata orang jika malam datang kamu pasti akan dapat melihat senyum bintang maupun senyum purnama, namun mana? Malam ini tak ada bintang dan tak ada purnama, yang ada hanyalah kegelapan yang menyelimuti diriku.
Sesuatu yang hangat akan membuat kenyamanan, kata orang. Namun, aku tidak butuh kehangatan, yang aku butuhkan adalah sesuatu yang dingin, dingin, dan dingin. Langit yang biru muncul sebagai langit yang cerah tanpa awan, kata orang. Namun, apakah orang tidak memperhatikan bahwa langit yang biru tidak akan terlihat jika orang tidak menengadah ke atas.
Gemercik air yang suci berlari bagaikan kuda terlepas dari pelana, menjauh dan terus menjauh, dalam dan semakin dalam menembus-meresap ke tanah bagai air. Dan menelusup ke hutan semakin menghilang bagai kuda. Butuh dimensi bagi air dan kuda? Ya… keduanya butuh dimensi. Namun, apakah dimensi mereka sama dengan dimensi manusia?
Ah… aku jadi malu sendiri ketika pertanyaan itu muncul dari diriku karena aku adalah manusia. Seharusnya akulah yang dapat menjawab pertanyaan itu. Tidak layak bagiku untuk bertanya kepada pohon yang membisu, tidak layak bagiku untuk bertanya pada batu yang membuta.
Kedudukanmu dan kedudukanku, samakah? Kamu terlihat berada di atas sedangkan aku terlihat berada di bawah kamu, seolah-olah kamu mempunyai totalitas, loyalitas, dan dedikasi yang lebih tinggi dari aku, aku pun mengerti bahwa diri ini adalah rakyat jelata. Sunguh beda antara kamu dan aku. Kamu dengan mudah meraup angka-angka dalam bentuk kertas tanpa harus mengeluarkan keringat. Sedangkan aku harus berjuang sampai banjir keringat, itu pun yang aku dapat hanyalah angka yang lebih kecil. Entah berapa puluh kali lipat kecilnya dari angka yang kamu dapat.
Namun, inilah kebanggaan yang aku dapatkan, bukan nilai angka tersebut. Tetapi, keringat yang membanjiri badanku yang aku banggakan, nilai-nilai yang aku dapatkan juga bersih, suci, dan harum. Sesekali aku masih bisa memberi kepada saudara-audaraku walaupun jumlahnya tidak seberapa dengan jumlah sumbangan yang engkau berikan. Namun, apakah kamu tahu bahwa sumbanganmu itu tidaklah berarti karena nilai yang kamu dapatkan adalah nilai kotor, nilai yang berlumuran darah manusia.
Bak air, nilai yang aku berikan adalah air yang hanya satu gelas namun jernih dari mata air yang suci, sedangkan nilai yang engkau berikan bagaikan air yang berada di sungai namun air tersebut ternodai dengan aliran darah manusia. Sekarang aku bertanya kepada dirimu, manakah yang lebih bermanfaat air yang aku berikan atau air yang kamu berikan?
Mimpi kita pun berbeda, kamu ingin bermimpi untuk membeli pulau bahkan kamu hendak membeli bumi dan seisinya dengan nominal kotor mu, kamu tidak ingat dan mungkin tidak tahu bahwa apa yang kamu inginkan itu tidak akan bisa terwujud. Bahkan kamu akan kecewa ketika menyadari bahwa tanganmu semakin melemah, rambutmu semakin memutih, suaramu semakin mengecil.
Sekarang aku ingin mengutarakan mimpiku, dengar dan perhatikan, aku akan membeli surga dengan kejujuranku, dan aku tidak akan kecewa karena aku yakin bahwa aku akan mendapatkannya dengan kejujuranku. Ketika tenaga ini semakin melemah, rambut ini semakin memutih, aku semakin senang karena aku hampir mendapatkan surga yang aku pesan.
Kamu pernah mengatakan bahwa aku ini adalah orang yang dekil tidak tahu pergaulan, miskin, dan tidak berpengetahuan. Kamu pernah bertanya kepadaku, bahagiakah kamu hidup seperti ini? Akan aku jawab pertanyaanmu dengan pertanyaan, apakah kamu bangga berpakaian bagus namun dikotori dengan darah? Apakah kamu tetap makan lahap sedangkan makanan yang kamu makan adalah bangkai-bangkai manusia?
Aku bangga hidup sebagai orang yang dekil menurut kamu, aku bangga hidup sebagai seorang yang miskin menurut kamu, dan aku bangga menjadi orang yang tidak berpengetahuan menurut kamu. Jelas aku tidak tahu jika kamu tanya kepadaku, manakah alkohol berkualitas yang mempunyai rasa enak, atau manakah pakaian yang cocok untuk digunakan dalam pesta, sedangkan pakaian tersebut adalah pakaian yang melihatkan bagian tubuh yang seharusnya tertutup. Jika anak perempuan maupun istri kamu memakainya, itukah yang kamu banggakan?
Kamu bangga dengan sesuatu yang sebenarnya tidak pantas kamu banggakan. Kamu bangga dapat menyayat-nyayat tubuh orang lain lalu mengambil pakainnya, meminum darahnya, dan memakan dagingnya. Kamu bisa tertawa ketika orang lain menangis. Itu kan yang kamu sebut dengan kebahagiaan? Itu kan yang kamu sebut dengan hidup nyaman?
Itulah sebenarnya yang menjadikan hatiku semakin tercabik-cabik dengan kehadiranmu, bukan tercabik-cabik karena aku tidak bisa sepertimu. Namun, hati ini tercabik karena ulahmu yang telah melukai fakir miskin, aku tidak bisa menikmati keindahan malam purnama karena mataku tertutup, tertutup karena aku tidak bisa seperti mu? Bukan. Mataku tertutup dengan darah-darah manusia yang kamu peras.
Aku tidak tahu dimanakah aku berpijak, bahkan tahun berapa. Jangankan tanggal dan hari pun aku tak tahu. Bukan karena aku hilang ingatan ataupun aku sengsara hidup sebagai orang miskin, namun aku bingung sekarang aku hidup di zaman jahiliyah atau zaman modern? Bukankah risalah nabi telah sampai tapi kenapa masih ada orang yang mewarisi kejahiliyaan Abu jahal sehingga aku pun dibingungkan dengan masalah itu: hidup di zaman jahiliyah yang modern ataukah hidup di zaman modern yang jahiliyah.
Menurut kamu kehangatan adalah suatu kenikmatan. Berbeda denganku, kehangatan adalah suatu penyakit sehingga aku menginginkan sesuatu yang dingin, kenapa? Kehangatan yang kamu dapat adalah kehangatan dengan cara merebut selimut orang lain, bahkan kamu tidak segan-segan membunuh demi mendapatkan selimut maupun pakaian mereka.
Aku tidak ingin sama sepertimu karena aku dan kamu sekarang berada di bumi yang sama sehingga aku memilih sesuatu yang dingin dari pada aku mendapatkan selimut kehangatan dari hasil merampas dan membunuh. Sesuatu yang tolol, bukan? Itu menurut kamu karena pikiran kamu sudah ternodai, kebiasan kamu memakan bangkai telah membuat otak mu terletak di dengkul.
Silahkan kamu telusuri jalanmu itu. Namun, suatu saat aku akan menghentikan jalanmu karena jalan yang kamu tempuh adalah jalan sesat dan menyesatkan. Saat ini kita masih bisa berkumpul namun lihatlah beberapa tahun yang akan datang jalurmu akan aku rubah demi membahagiakan rakyat, janjiku tidak akan terabaikkan. Ingat-ingatlah kalau kamu tidak merubah jalanmu suatu saat tangan ini yang akan mengubahmu.
Tidak usah kamu berbangga diri dengan harta yang kamu miliki karena suatu saat harta tersebut tidak akan kamu bawa setelah kamu mati, kacuali harta itu halal dan kamu menafkahkannya kejalan yang halal. Janganlah kamu menghina fakir miskin karena bisa jadi derajat mereka lebih tinggi di sisi-Nya. Rasio tidak selamanya bisa dipakai karena di samping itu ada sesuatu yang tidak bisa diterima dengan rasio ataupun nurani, namun harus dilaksanakan, yaitu syariat yang datang dari Tuhan.
Hidup hanyalah sebagai jembatan menuju akhirat nanti. Renungkan sejenak, berapakah usia kamu sekarang? Kapan kamu pertama kali masuk sekolah taman kanak-kanak, lalu kejenjang sekolah dasar, dan tidak terasa akhirnya kamu tamat dari perkuliahan. Pasti terasa seperti baru kemarin, begitulah kehidupan. Tanpa dirasa tiba-tiba ajal sudah di depan mata.
Berbuat baik sebelum terlambat itulah kunci terakhir. Berbuat baik tidaklah perlu di tunda-tunda karena ajal selalu mengintai sewaktu saat bagaikan telur di atas tanduk. Jadi, masa depan adalah apa yang kita kerjakan pada saat ini. Singkatnya kehidupan di akhirat nanti ada kaitannya dengan kehidupan yang kita kerjakan saat ini.
0 comments:
Posting Komentar