Bersatu dalam Ikatan Islam

26 Okt 2008


Universal, kekal, kokoh, dan tidak akan pernah putus. percayalah....
Kita semua sudah sama-sama tahu bahwa kelahiran seorang manusia ke dunia, sama sekali tidak dibebani dosa sedikitpun. Ia lahir dalam keadaan suci meski terlahir dari perut seorang pencuri, pembunuh atau dari hasil zina sekalipun. Orang tua dan para pembimbingnyalah yang menentukan apakah ia akan ta'at kepada-Nya atau malah sebaliknya. Seperti kertas yang belum tergores oleh tinta, berwarna putih dan bersih. Baru kemudian si penulislah yang mempunyai kewenangan penuh untuk menjadikan kertas itu menjadi lembaran-lembaran cerita pendek, novel, karya tulis ilmiah, makalah atau buku harian yang selalu tersimpan rapi diatas meja diruang tidur.

Dalam hidupnya, setiap manusia pasti pernah melakukan kesalahan dan dosa, siapapun itu. Baik dosa seringan kapas atau dosa seberat besi sekalipun. Nah, dalam hal ini, perlu adanya suatu upaya untuk kembali kepada asal kejadian yaitu suci dari noda dan dosa. Mengapa demikian? Karena hidup manusia di dunia adalah untuk beribadah dan menuai hasil di akhirat. Dengan bertaubat, menyesali dan bertekad untuk tidak kembali kepada kejelekan yang ia lakukan dahulu, manusia bisa kembali kepada asal kejadiannya. Kapan itu? Ya, tangan Allah SWT selalu terbuka untuk kita, kapan dan dimanapun. Tidak seperti ketika kita meminta bantuan kepada seseorang, yang waktu dan tempatnya sangat terbatas, malah sengaja dibatasi. Demikianlah karena Allah Maha segala-galanya.
Itulah hakikat dari 'Idul Fitri yang belum lama ini kita rayakan bersama. Yaitu kembali kepada asal kejadian, Fithrah atau suci yang merupakan balasan Allah bagi mereka yang telah berpuasa sebulan penuh dengan ikhlas.Sekarang tugas kita semua adalah menciptakan suasana ibadah di Bulan-bulan yang akan datang seindah pada bulan Ramadhan. Karena pada hakikatnya itulah inti dari makna Allah memuliakannya. Terutama dengan menjadikan diri bermanfa'at, berkembang dan bisa melompat jauh kedepan. Tetapi meskipun demikian, bukan dalam artian tidak peduli terhadap teman, tetangga atau lingkungan sekitar, tetapi perintah Allah untuk saling nasihat-menasihati, tolong-menolong dan menyampaikan ayat-Nya harus tetap disampaikan walau tidak membutuhkan waktu berjam-jam, tulisan berlembar-lembar, seminar berhari-hari, atau dana bermiliyar-miliyar.
Pedulilah terhadap lingkungan di samping kita, terutama kepada generasi baru. Kepada siapa lagi Agama dan bangsa ini dititipkan kalau bukan kepada mereka. Tetapi yang harus diingat, bagaimana kita mengharapkan generasi baru yang maju kalau generasi kita sekarang mundur, tak kuat menanggung amanah, malu untuk melakukan aksi, enggan untuk melakukan perubahan dan takut untuk menentang ketidakadilan.
Dengan demikian, kualitas generasi baru tergantung kepada generasi kita sekarang. Kedua-duanya merupakan actor leading. Itulah makna dari firman Allah dalam surat An-Nisa ayat 9.
Generasi pada dasarnya adalah turunan, angkatan atau sekelompok orang yang mengalami hidup dalam masa yang sama. Ada generasi lama, sekarang dan generasi baru. Semuanya terus memberikan efek yang sangat besar terhadap suatu kemajuan. Generasi lama, kita jadikan suri tauladan kalau memang mereka patut diteladani. Kalau tidak, lain lagi ceritanya. Generasi sekarang, kita bersama-sama bergotong royong dalam kebaikan sambil berfastabiqul khoirot. Sedangkan untuk generasi baru, kita juga yang dibebani untuk membina, membentuk dan membangun mereka sehingga mampu untuk melakukan yang terbaik dengan kualitas yang lebih dari generasi kita sekarang. Itulah mengapa Allah SWT memuliakan Rasulullah. Dia berkehendak agar kemuliaan yang ada pada Rasulullah itu ada dalam diri setiap muslim. Sungguh indahnya dunia ini bila segala tindakan dan ucapan kita sesuai dengan yang diucapkan dan dilakukan Rasulullah.
Para pemuda, mereka itulah generasi baru itu. Suatu generasi yang akan tampil dimuka dengan wajah ceria dan penuh ekspresi. Ditangan mereka nanti, Agama ini akan berkembang atau malah kempis, bangsa ini akan maju atau malah mundur dan dunia ini akan sejahtera atau malah sengsara. Ya, kalau memang kita ingin Agama ini terus berkembang, bangsa ini terus maju dan dunia ini tambah sejahtera, maka bentuk, bimbing dan bangunlah sebuah generasi yang kokoh. Berikan mereka asupan gizi yang mantap dengan memberikan contoh teladan yang baik, dan berbagai asupan lain yang bermanfa'at.
Jangan sampai mereka malu dengan keberadaan kita karena banyaknya cela dalam diri kita, jangan sampai mereka enggan utuk menyebut nama kita karena penuhnya catatan hitam kita, jangan sampai mereka berpaling ketika bertemu karena tidak ingin masuk dalam jurang yang sama bersama kita.
Kita lihat dahulu bagaimana Rasulullah membimbing ge-nerasi barunya. Tak dapat dibayangkan, Rasulullah adalah seorang Rasul yang Allah utus untuk seluruh umat mengajak kepada Agama Islam. Bersamaan dengan itu pula Rasulullah adalah seorang pemimpin Negara. Tetapi beliau mampu membimbing generasi barunya dengan penuh kasih sayang, ketegasan dan tanggung jawab. Sehingga apa yang kita dengar? Generasi barunya mampu meneriakkan Islam sampai pelosok dunia. Sehingga menggema di Negara kita.
Lalu bagaimana generasi baru kita sekarang? Silahkan tengok dan tatap mereka dengan penuh teliti dan kasih sayang sehingga kita mampu menyimpulkannya sendiri. Bagaimana? Apakah mereka seperti sahabat sepeninggal Rasulullah, atau apakah mereka seperti Bani Israel sepeninggal Nabi Ibrahim? Atau apakah kita sendiri sama sekali tidak bisa memahami mereka karena kita tidak me-ngenalinya?
Sungguh sangat disayangkan. Disatu sisi kita berharap Agama, bangsa dan dunia ini sejatera, tetapi disisi lain, kita tidak peduli terhadap generasi baru. Jangankan mereka yang jauh dan tidak terlihat, mereka yang dekat dan telah berbaris lurus disam- ping kitapun tidak terperhatikan.
Bulan ini masuk dalam daftar bulan bersejarah dalam catatan bangsa Indonesia. Ya, pada tanggal 28 Oktober nanti kita akan diajak kembali merenungi, mengevaluasi dan memperingati sumpah pemuda. Suatu sumpah yang didengungkan oleh para pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928, setelah bermusyawarah demi memperkuat semangat persatuan dalam sanubari para pemuda. Sumpah itu berbunyi: Kami Poetera dan Poeteri Indonesia, Mengakoe Bertoempah Darah Jang Satoe, Tanah Indonesia. Kami Poetera dan Poeteri Indonesia, Mengakoe Berbangsa Jang Satoe, Bangsa Indonesia. Kami Poetera dan Poeteri Indonesia, Mendjoendjoeng Bahasa Persatoean, Bahasa Indonesia.
Rasakanlah semangat membara yang keluar dari hati sanubari mereka. Ya, mereka itu adalah para pemuda yang peduli terhadap bangsanya. Huh…Sangat panjang sekali kiranya bila kita runtut sejarahnya dari awal. Yang paling penting bagi kita sekarang adalah bagaimana agar semangat membara yang mereka rasakan pada waktu itu bisa kita rasakan sekarang, bahkan lebih bagus kalau misalnya bertambah besar. Bukan hanya semangat saja, tetapi kita mampu melakukan suatu aksi. Aksi yang mampu menatap masa depan dengan penuh optimis dan aksi yang mampu menciptakan sebuah perubahan kearah perbaikan.
Tetapi ingat, bila hanya ikatan nasionalisme yang muncul dari sumpah pemuda yang kita andalkan, itu belumlah cukup mempersatukan kita semua. Maka persatukanlah hati sanubari kita semua dengan yang universal, kekal, kokoh dan tidak akan pernah putus, yaitu dengan ikatan Islam. Suatu ikatan yang sengaja Allah ikatan SWT berikan sebagai anugerah kepada mahluk ciptaan-Nya yang paling sempurna. Wallahu a’lam.
Oleh : Dhani M.R

0 comments:

Posting Komentar