Ramadhan, Tripoli and Me

21 Sep 2010


Oleh: Sidiq Nugroho

Perkenalkan, saya adalah salah satu dari seratus sekian mahasiswa yang sedang menuntut ilmu di Negeri Seribu Penghafal al-Qur' an, - begitu Dr. Aidh al-Qarni menjuluki Libya.

Seribu kisah akan bisa saya ceritakan kepada anak cucu kelak, untuk sekedar mewakili kehidupan 4 tahun disini. Dari senyuman manis para gadis yang langsung menhantam titik sensitif keimanan, hingga kerasnya jalanan yang menuntut pengorbanan materi dan tak jarang, fisik. Tapi, dalam beberapa baris kedepan, barangkali sedikit dari kehidupan Ramadhan ditanah ini akan saya ceritakan.

Saya dengan Civitas Kampus
Akan banyak ditemui beragam kegiatan pada bulan Ramadhan di kampus kami, Kuliyah Dakwah Islamiyah. Dimulai dari agenda-agenda yang digagas oleh persatuan pelajar dari beragam negara yang ada, pihak kampus, ataupun lingkaran-lingkaran kecil yang dirintis oleh individu-individu kreatif. Semua bermuara kepada satu titik; menyemarakkan bulan terbaik ini. Mereka seolah bersepakat kepada hal yang sama; bahwa bulan ini adalah momentum untuk meningkatkan produktifitas. Kapan pun waktunya, apa pun kegiatan positifnya, dan dimanapun dilakukannya. Maka kita akan menemui berbagai komunitas yang bertebaran di taman-taman kampus menjelang adzan maghrib dikumandangkan. Sambil menunggu waktu berbuka puasa, mereka pun sibuk dengan topik perbincangan yang berbeda-beda pula; bedah buku, belajar muqarrar, kajian lepas, atau sekedar curhat enam, delapan, atau sepuluh mata semata.

Ada juga sekelompok mahasiswa yang memanfaatkan jeda singkat sehabis sholat tarawih hingga waktu sahur tiba dengan menyalurkan hobi olahraganya, entah itu futsal, tenis meja atau yang lain.

Lain pula dengan paket Ramadhan tahunan yang diorganisir oleh pengurus masjid kampus. Dimulai dari shalat tarawih berjama'ah, kultum setelah sholat dzuhur, lomba hafalan Qur' an, sampai I'tikaf dan qiyamullail pada sepuluh hari terakhir. Luar bisa hebatnya!
Yang jelas, jangan sampai kita termasuk kedalam kelompok ini; segelintir dari muslimin yang menghabiskan waktu dengan aktifitas-aktifitas yang kurang mempunyai orientasi jelas. Akhirnya, Ramadhan pun lewat begitu saja di depan mata mereka, tanpa ada upaya memaksimalkan waktu dan potensi yang ada.
 
Saya, KBRI dan Masyarakat Indonesia di Tripoli

Ini lebih mengagumkan lagi. Kita seolah-olah dibawa kepada suatu daerah beribu-ribu kilometer jauh disana; Indonesia. Ya, mahasiswa, KBRI, dan komunitas Indonesia yang berada di Tripoli, melebur menjadi satu, menciptakan suasana Ramadhan ala Indonesia. Dengan mudah kita menemukan pesantren Ramadhan misalnya, sebuah paket kegiatan pengajaran al-qur'an dan disiplin ilmu Islam lainnya kepada putra-putri WNI yang berdomisili di Tripoli khususnya. Begitu juga dengan musholla KBRIyang ramai dengan variasi kegiatannya; kajian pekanan menjelang buka puasa, sholat tarawih berjama'ah, takbiran, hingga sholat ied.

Begitu pula dengan tradisi buka puasa bersama yang momentnta disatukan dengan pesantren Ramadhan. Para putra-putri mereka mendapatkan suplemen ruhiyah, orangtua pun secara emosi sosialnya pun terpupuk karena bisa bersilaturahim dengan WNI lain.
Satu hal yang membuat kita semakin merindu kampung halaman adalah aneka minuman dan makanan khas Indonesia, baik yang ringan ataupun berat. Keberagaman suku dan asal daerah WNI membuat variasi indah di atas meja makanan. Ada yang pedas, manis dan asam. Rasa bhineka, begitu katanya.

Saya dan Penduduk Tripoli
Semua jenis kisah saya temukan disini. Tentang orang-orang Arab yang mempunyai budaya tersendiri dalam menyambut bulan Ramadhan.

Kalau anda mencoba keluar kamar di pagi hari libur, maka jalan yang biasanya begitu padat dengan kendaraan roda empat, akan terlihat seperti jalan tol di Indonesia. Penghuni Tripoli masih terlelap dengan tidurnya hinggu dzuhur menjelang, atau hanya sekedar bermalas-malasan di apartemen mereka. Menginngat waktu malam yang begitu singkat, ditambah sengatan matahari musim panas, membuat siapa saja yang hidup di daerah ini, pada musim ini, membalik pola hidupnya, siang jadi malam dan sebaliknya. Maka tidak aneh kota menjadi hidup lagi ketika memasuki waktu sore. Itu adalah ngabuburit ala Arab.

Oh iya, barangkali anda harus tahu bahwa jiwa entrepreneur para generasi muda Libya menggeliat di buan ini, apalagi ditambah masa liburan sekolah yang panjang. Biasanya, anak-anak kecil menjual mainan yang diperuntukkan untuk usia mereka juga. Sedangkan para pemuda dengan santai menjajakan soft drink atau cemilan. Mantap ya?

Suatu siang saya singgah di sebuah masjid di kawasan Sharee Ashrah untuk mendinginkan badan sekaligus sholat dzhuhur. Tidak seperti hari-hari biasanya, ketika masjid-masjid ditutup setelah jama'ah selesai mendirikan sholat, pada bulan Ramadhan ini, ternyata mereka menambahkan kultum. Seakan mereka ingin menjadikan Ramadhan ini bulan pembinaan dengan merefresh kafa'ah syar'iyyah yang telah mereka miliki sebelumnya.

Budaya saling menjamu, atau mengundang jamuan makan, sangat kental pada saat-saat Ramadhan seperti ini. Barangkali sekali waktu anda perlu menyempatkan diri untuk jalan-jalan di pusat kota sambil sholat maghrib disana. Cari kenalan penduduk sekitar, ajak ngobrol. Saya rasa dia pun tidak akan segan-segan mengajak anda untuk makan malam dirumahnya.

Kalau di Indonesia nge-’tren’ istilah sahur on the road, Libya pun punya buka on the road. Bentuknya adalah ta’jil yang dibagi-bagikan warga untuk mereka-mereka yang saat adzan maghrib dikumandangkan masih berada di jalan. Hamper setiap masjid juga menyediakan minuman atau makanan kecil sebagai ta’jil.

Mungkin itu sedikit fenomena sosial di sekitar kita pada bulan suci ini. Kalau kita perhatikan seksama, maka sesungguhnya Ramadhan bisa kita manfaatkan sebaik-baiknya untuk melakukan transformasi peradaban. Dimulai dari kerja-kerja kecil sosial. Karena ternyata memang momentum Ramadhan sangat efektif untuk merubah watak dan karakter manusia. Yang dulunya temperamental, pada bulan ini justru menjadi seorang penyayang. Tiba-tiba saja muncul muslim-muslim derma yang begitu ringan membelanjakan hartanya. Kepedulian sosial masyarakat meningkat tajam. Itu semua, menurut saya, merupakan modal utama untuk menguatkan salah satu dari tiga unsur perdaban yang disebutkan Malik bin Nabi, sumber daya manusia yang bagus. []

0 comments:

Posting Komentar