Problematika Toleransi Beragama di Indonesia

20 Okt 2010

Oleh: Ellen Febry Valentine*

Pendahuluan
Adalah sebuah realitas tak terbantahkan bahwa tidak ada satu negara pun di dunia yang hanya terdiri dari satu suku. Keanekaragaman (pluralitas) etnis dalam sebuah negara menjadi titik tolak keragaman yang lain, meliputi budaya, bahasa, dan agama.

Secara garis besar keragaman ini bisa dilihat dari dua perspektif, vertikal dan horizontal. Keanekaragaman vertikal yang meliputi tingkat pendidikan, ekonomi dan sosial. Sedangkan perspektif horizontal meliputi keanekaragaman suku, bahasa, budaya dan agama.

Di Indonesia sendiri fakta pluralitas ini terejawantahkan dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika, sebuah ikhtiar yang lahir dari berbagai perbedaan yang mustahil bisa disamakan namun tetap berharap untuk tidak sekedar bisa bersama. Lebih dari itu para founding father bangsa kita ingin agar perbedaan itu bersatu dan bersinergi menjadi kekayaan bangsa.

Disisi lain pluralitas dan heterogenitas itu seringkali menimbulkan gesekan antar kelompok yang berujung pada tindak kekerasan. Dan sangat disayangkan, agamalah yang sering dijadikan kambing hitam.

Namun benarkah truth claim (klaim kebenaran) sebuah agama yang menjadi pemicu konflik antar umat beragama? Atau ada faktor lain yang bermain dibalik setiap konflik yang mengatasnamakan agama?

Konflik Antar Agama, Mengapa dan Bagaimana?
Ada 6 agama resmi yang diakui di Indonesia. Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Kong Hu Chu. Pluralitas ini bisa menjadi nilai positif jika masing-masing pemeluknya bisa bersinergi membangun Indonesia dengan melepaskan sekat-sekat teologis yang mustahil bisa disamakan. Namun kenyataannya berbagai gesekan sosial yang menggunakan simbol agama lebih sering muncul bahkan berujung pada tindak anarkis.

Agama sendiri mengajarkan pemeluknya untuk saling mengasihi. Ajaran humanisme itu bisa ditemukan di semua kitab suci agama. Tidak ada satu agama pun yang menganjurkan pemeluknya untuk menyakiti pemeluk agama lain. Jadi bisa dipastikan konflik antar agama yang terjadi adalah kamuflase atau pembenar atas konflik sosial yang melatar belakangi.
Sedikitnya ada dua faktor yang melatarbelakangi konflik agama, yaitu:

Faktor Eksternal Agama
Iklim demokrasi terbuka yang dimulai sejak digulingkannya rezim orde baru ikut bertanggungjawab memicu timbulnya konflik. Kebebasan berpendapat yang tidak diimbangi kemampuan akomodatif untuk saling menghormati perbedaan sering berujung pada sikap saling menyalahkan.

Selain itu kesenjangan sosial akibat krisis moneter sejak tahun 1997 membuat masyarakat sangat sensitif menghadapi perbedaan. Sedikit saja ada gesekan, maka mudah sekali timbul kerusuhan massal dan tindak kekerasan kolektif (anarkisme), yang mengakibatkan rakyat tidak berdosa harus menderita karenanya. Kasus kerusuhan Tasikmalaya, Situ-bondo (1997); Medan, Jakarta, Solo, Ketapang dan Kupang (1998); Bali (1999), Ambon, Maluku Utara (1999/ 2000; 2003/ 2004), Mataram (2000), Kalimantan (2004), Jakarta (2005), dan Poso (2003-2006) merupakan contoh aktual yang masih segar dalam ingatan kita. Dan, sekaligus mengindikasikan betapa kekerasan sosial akhir-akhir ini begitu fenomenal melanda masyarakat kita.

Hal lain yang melatar belakangi timbulnya konflik yang mengatasnamakan agama adalah tidak dipatuhinya hukum negara. Padahal negara telah mengatur kebebasan beragama (pasal 29 ayat 2 UUD 1945). Kebebasan yang dimaksud tentu harus disesuaikan dengan kondisi sosial masyarakat, khususnya hubungan mayoritas-minoritas. Karena selama ini yang menjadi korban adalah kelompok minoritas, maka harus dicari akar masalahnya. Jangan sampai dengan dalih kebebasan beragama atau melindungi kelompok minoritas, justru memfitnah mayoritas yang sebenarnya tidak bersalah.

Kasus terakhir hingga tulisan ini diturunkan adalah penusukan anggota jemaat HKBP (Huria Kristen Batak Protestan) Pondok Timur Indah Bekasi. Meskipun pihak HKBP tidak menuduh umat agama lain yang melakukan penusukan, namun opini yang berkembang kasus ini adalah konflik agama karena dilakukan pada hari raya agama oleh oknum agama tertentu yang korbannya adalah umat agama lain.

Asal muasal kasus ini adalah tidak dipatuhinya peraturan pemerintah tentang pendirian rumah ibadah. Penulis tidak akan panjang lebar mengurai kasus ini karena diluar tema tulisan. Namun satu hal yang perlu dicatat, jika pemeluk agama menaati aturan negara sebagaimana ia menaati aturan agama, maka konflik yang mengatasnamakan agama tidak perlu terjadi.

Faktor Internal Agama
Munculnya kelompok-kelompok ekstrimis yang menganggap agama sebagai alat politis untuk mewujudkan cita-cita adalah salah satu faktor penyebab konflik dari dalam. Parahnya kelompok ini didominasi oleh kaum muda yang emosinya cenderung labil dan mudah dipengaruhi. Menegakkan agama sering dipakai sebagai alasan untuk melegalkan tindak anarkis mereka. Citra agama yang ramah akhirnya berubah menjadi agama yang marah.
Ekstrimis dalam agama tentu sangat berkaitan dengan pemahaman terhadap teks agama. Penafsiran atas sebuah teks sangat mempengaruhi pola pikir dan perbuatan seseorang. Adanya perbedaan penafsiran itulah yang akhirnya memunculkan kelompok-kelompok ekstrimis, liberal ataupun moderat dalam agama.

Selain itu, kurangnya pemahaman terhadap teks agama bisa memicu konflik. Seperti adanya perintah membunuh orang kafir. Disini tentu harus dipahami kafir seperti apa yang boleh untuk dibunuh. Apakah kafir yang dilindungi negara yang tidak berbuat salah juga harus dibunuh? Ataukah kafir yang merongrong stabilitas negara, menyebarkan fitnah terhadap agama lain yang -bahkan menurut hukum negara pun- harus dihukum?
Merebaknya kasus terorisme yang mengatasnamakan jihad, juga buah dari pemahaman terhadap teks agama yang saklek. Apakah termasuk jihad jika pendanaan aksinya hasil merampok bank? Apakah dikatakan jihad jika nyatanya justru meresahkan umat? Tampaknya jihad- perjuangan membela agama yang mulia- telah berpeyorasi menjadi perjuangan politis sekelompok ekstrimis dalam agama demi mewujudkan cita-cita mereka.

Lalu bagaimana menumbuhkan sikap toleran antar pemeluk agama di Indonesia?

Pertama, peran tokoh agama dalam mendakwahkan agama sangat mempengaruhi pola pikir dan sikap pengikutnya. Apalagi penafsiran terhadap teks agama yang berisi perintah dan larangan. Tidak bisa dipungkiri bahwa menjalankan perintah dan menjauhi larangan tersebut adalah hal mutlak yang harus dilakukan. Disinilah peran tokoh agama sangat membantu dalam penyelesaian konflik. Tokoh agama diharapkan mampu menunjukkan citra positif agama yang ramah dan toleran.

Kedua, pemerintah diharapkan mampu meningkatkan kesejahteraan dan mengurangi tingkat kesenjangan sosial rakyatnya. Rakyat yang hidup makmur dengan tingkat pendidikan tinggi akan lebih cerdas menyikapi perbedaan. Sebaliknya rakyat yang hidup miskin dan bodoh akan lebih sensitif dalam menghadapi gesekan.

Selain itu menjadi tanggung jawab pemerintah untuk mengatur toleransi antar umat beragama dalam sebuah undang-undang. Bukan sekedar undang-undang yang mengatur kebebasan beragama dan berkeyakinan. Tapi undang-undang penyiaran agama dan pendirian rumah ibadah yang disepakati oleh keenam agama dan harus disosialisasikan kepada masyarakat. Jika alasannya masih berkutat soal kebebasan maka kasus-kasus seperti HKBP bisa dipastikan akan terulang dikemudian hari.

Ketiga, perlunya perubahan pola pikir bangsa Indonesia yang notabene masih HAM oriented. Selamanya orang yang mendahulukan hak akan merasa benar dan menuntut jika haknya tidak terpenuhi, tanpa berpikir apakah ia sudah menjalankan kewajibannya atau belum. Jika saja pola pikir ini bisa dirubah dengan mendahulukan kewajiban sebelum menuntut hak, maka manusia akan terbebas dari pola pikir egosentris dan merasa benar sendiri.

Penutup
Untuk mewujudkan kerukunan antarumat beragama semua elemen harus ikut andil. Pemerintah, tokoh agama dan masyarakat harus mengambil peran sesuai kapasitas dan kewenangan masing-masing. Dan yang paling penting sekaligus paling sulit adalah merubah pola pikir bangsa penganut HAM-isme yang justru akan semakin memperlebar jurang perbedaan.

Jika sentralisme hak ini bisa diminimalisir, maka egoisme manusia yang selalu berpikir tentang hak-hak pribadi dan kebebasan akan tergantikan dengan tanggungjawab memenuhi kewajiban sebagai mahluk sosial yangTuhan. Akhirnya, kasus-kasus kekerasan antarumat beragama tidak perlu terjadi lagi. []


* Mahasiswi Tingkat Akhir (IV) Dakwah dan Peradaban Islam, Islamic Call College, Tripoli-Libya.


0 comments:

Posting Komentar