Belajar dari Sebuah Wacana

28 Okt 2010

Oleh: Faried Rachman Hakiem

Di saat negara-negara maju sudah bisa merasakan hasil dari pendidikan di negara mereka, negara kita, Indonesia, masih saja mencari sistem pendidikan yang sesuai untuk masyarakatnya yang unik. Sudah beberapa kali sistem pendidikan kita berubah karena banyak ditemukan permasalahan. Berbagai upaya dilakukan, tetapi sampai sekarang pendidikan kita dirasa masih belum nyaman.

Setiap harinya permasalahan ini tetap asyik untuk diperbincangkan. Masyarakat kurang mampu selalu bertanya-tanya tentang biaya pendidikan. Golongan menengah ke atas masih meragukan kualitas pendidikan. Para anggota dewan baik itu yang ada di tingkat pusat atau tingkat daerah masih terus mencari solusi untuk masalah pendidikan kita.

Berbagai wacana dan usulan keluar dari para anggota dewan. Belum lama ini salah satu anggota Komisi IV DPRD Jambi berwacana supaya diadakan tes keperawanan sebagai syarat untuk masuk ke sekolah negeri. Anggota dewan itu beralasan agar para siswi lebih menjaga pergaulan dan akhlaknya. Wacana ini mengemuka karena saat ini pergaulan bebas semakin tidak terkendali. Bahkan banyak dari para pelaku pergaulan bebas ini adalah peserta didik dari berbagai tingkatannya.

Wacana yang cukup menarik sekaligus nyleneh. Disaat masih banyak permasalahan pendidikan yang lebih mendesak untuk segera diselesaikan, wacana yang banyak mengandung sisi negatif itu keluar dari seorang anggota dewan. Sepertinya anggota dewan itu lupa untuk berfikir mengenai sisi-sisi negatif sebelum berwacana.

Para dokter yang ahli dalam bidang “sensitive” ini juga ikut mengomentari wacana yang menyangkut bidangnya. Menurut mereka, hilangnya keperawanan (robeknya selaput dara) seseorang tidak selalu disebabkan pernahnya seseorang berhubungan badan. Kadang olah raga yang dilakukan tanpa hati-hati dan berlebihan juga bisa mengakibatkan robeknya selaput dara. Jadi menurut mereka, keperawanan seseorang tidak bisa menjadi ukuran baik buruknya pribadi seseorang.

Wacana ini mempunyai sisi negative yang lebih banyak dari pada sisi positifnya. Psikologi anak yang akan terkena efeknya. Ketika seorang anak diketahui sudah tidak perawan lagi, maka kepercayaan dirinya juga akan hilang. Padahal salah satu tujuan pendidikan adalah menumbuhkan kepercayaan diri peserta didik. Ini jelas sangat bertentangan dengan tujuan pendidikan itu sendiri.

Bukannya menyelesaikan masalah, wacana ini malah akan menambah lagi permasalah pendidikan di Indonesia. Prof. Dr. Wimpie Pangkahila, Sp.And, FAACS, seorang seksolog Universitas Udayana mengatakan, gagasan tes keperawanan sangat bertentangan dengan Hak Asasi Manusia. Selain itu, beliau juga menilai gagasan ini sangat diskriminatif. Sebab tes semacam ini tidak bisa dilakukan pada murid laki-laki. Tidak pantas rasanya kalau di negara kita ada sekolah khusus siswa yang sudah tidak perawan dan atau mungkin siswa yang sudah tidak perjaka lagi.

Wacana ini bukanlah solusi untuk mengatasi masalah pergaulan bebas para peserta didik. Bahkan beberapa orang, termasuk anggota dewan lain menilai wacana ini berpotensi menjadi bisnis para anggota dewan. Saat ini penjualan jasa “mengembalikan” keperawanan dengan memasang selaput dara bautan memang lagi marak. Jadi sangat beralasan mengapa mereka beranggapan wacana ini akan menjadi bisnis para anggota dewan.

Untuk mengatasi pergaulan bebas para peserta didik, harusnya pihak sekolah dan keluarga yang merupakan lingkungan terdekat para peserta didik memberikan pemahaman agama yang benar tentang batasan pergaulan. Dengan demikian anak mempunyai bekal untuk bergaul dengan batasan-batasan yang sudah mereka fahami.

Lingkungan di luar sekolah dan keluarga juga mempunyai peran yang besar dalam mewarnai perilaku anak, dalam hal ini perilaku pergaulan. Mereka akan menemukan perbedaan antara pemahaman yang mereka dapat di keluarga dan sekolah dengan realita yang ada di lingkuangan luar rumah dan sekolah. Lingkungan yang dimaksud adalah semua yang ada di sekitar anak, baik itu teman dekat, tetangga, media cetak dan elektronik, dan semua yang berpotensi mempengaruhi pergaulan anak.

Di sini lah peran pemerintah yang mempunyai wewenang untuk mengatur dengan membuat peraturan-peraturan yang berkaitan dengan lingkungan. Tentunya peraturan yang berkulitas dan banyak manfaatnya, bukan malah sebaliknya. Pemerintah harusnya mampu menyaring tayangan-tayangan yang mendukung pergaulan bebas. Ironisnya, mayoritas tayangan media kita malah mendukung untuk terjadinya pergaulan bebas. Belum lagi tempat-tempat umum seperti diskotik,, bahkan tempat prostitusi diizinkan beroprasi. Dari sini pemerintah kita terkesan setengah-setengah dalam menyelesaikan masalah pergaulan bebas para peserta didik bahkan lebih luas lagi masyarakat.

Dalam setiap kejadian, Allah SWT sudah menjanjikan hikmah yang terkandung di dalamnya. Dari wacana tes keperawanan sebagai syarat masuk ke sekolah negeri ini, Allah swt telah memberi tahu bahwa, pertama, permasalahan muncul karena kurangnya ilmu agama. Kedua, pentingnya pendidikan di keluarga (lembaga pendidikan terdekat dengan anak). Ketiga, lingkungan di sekitar kita masih mendukung terjadinya pergaulan bebas. Keempat, kualitas keilmuan sebagian pemimpin kita masih sedikit. Kelima, kita harus menyiapkan diri kita untuk mendidik anak kita nantinya. Keenam, hal negatif sekali pun selalu datang bersama dengan hikmah, tentu bagi orang yang selalu berhusnudhan. Ketujuh, tidak ada permasalahan tanpa solusi, dan agama Islam ada untuk memberikan solusi dalam setiap permasalahan. Kedelapan, kita harus peka terhadap permasalah-permasalahan yang sedang terjadi di negara kita. Kesembilan, kita tidak hidup sendiri, kadang perilaku tidak baik orang di sekitar kita karena mencontoh perilaku kita. Salah satu tanggung jawab sosial kita adalah memberi teladan yang baik.

Semoga kita termasuk dari sedikitnya orang yang bisa mengambil hikmah dari setiap kejadian. Tetap berdoa, berhusnudhan, berikhtiar, tersenyum, dan raihlah ketenangan. []

0 comments:

Posting Komentar