Buya Hamka

29 Apr 2010

Oleh: Mihammad Dic Hidayat Ratu Loli


Sejarah kehidupan para tokoh selalu menghadirkan semangat yang sudah seharusnya mampu membakar jiwa mereka yang ingin menjadi manusia-manusia besar, sebagaimana ungkapan Sayyid Qutb. Manusia besar adalah mereka yang hidup tidak hanya untuk dirinya tetapi lebih dari pada itu hidup untuk umatnya, munusia yang di akhir hayat tidak hanya tertulis di atas batu nisan dengan tiga kosa kata fulan bin fulan kemudian dilupakan. Karena itulah jumlah manusia tak terhitung, sementara jumlah tokoh terhitung dan hanya sedikit orang.

Dan di anatara manusia besar umat dan bangsa ini yang tidak bisa dilupakan oleh sejarah adalah BUYA HAMKA. Sosok yang dipenuhi mutiara-mutiara cerita.

Telaga Kehidupan Sang Tokoh
HAMKA (1908-1981), adalah merupakan akronim nama dari Haji Abdul Malik bin Abdul Karim Amrullah. Beliau seorang ulama, aktivis politik, dan penulis Indonesia yang amat terkenal di Nusantara. Beliau lahir pada 17 Februari 1908 di kampung Molek, Maninjau, Sumatera Barat, Indonesia. Ayahnya ialah Syeikh Abdul Karim bin Amrullah atau dikenal sebagai Haji Rasul, seorang pelopor Gerakan Islah (tajdid) di Minangkabau, sekembalinya dari Makkah pada tahun 1906.

Hamka adalah potret ulama kharismatik, politisi sejati, dan pujangga terkemuka yang memilih berkiprah dalam perjuangan pembentukan karekter umat dan bangsa. Beliau bukanlah sosok ulama istana, beliau adalah ulama pejuang yang menjadi peletak dasar kebangkitan komunitas islam modern atau kaum gedongan di ibu kota lewat icon al-Azhar. Yang pada akhirnya berhasil pula melebarkan sayap sebagai lembaga pendidikan modernis dan agamis.

Sebagai politisi, Buya patut menjadi teladan, pandangan dan keyakinannya senantiasa lurus-lurus saja memperjuangkan aspirasi umat, beliau bersama tokoh-tokoh Masyumi lainya adalah para pejuang yang gigih dalam mengajukan konsep-konsep Islam secara ilmiah dan argumentatif. Juga konsisten dalam memegang teguh aturan main secara konstitusional. Ketika perjuangan melalui jalur partai politik terganjal, Buya bersama para tokoh Masyumi lainnya memilih berhijrah dan menempuh jalur dakwah di masyarakat, masjid, pesantern, dan perguruan tinggi. Karena sesungguhnya dakwah laksana air terus mengalir dan tak boleh terhenti dan tak dapat dibendung.

Sikap istiqomah menjadi garda terdepan walau harus menghadapi tangan-tangan besi kekuasaan yang terbukti berhasil menjebloskannya ke penjara. Penjara badaniah tak sekalipun kuasa memenjarakan kebesaran jiwa seorang Hamka yang tetap merdeka, sejarah pula yang akhirnya mencatat bahwa dari dalam penjara lahir karya terbesar Hamka yang membuatnya terkenal hingga Manca Negara, Tafsir al-Azhar yang juga satu-satunya Tafsir yang ditulis oleh ulama melayu dengan gaya bahasa yang khas dan mudah dicerna.

Seorang Otodidak
HAMKA lebih banyak belajar sendiri dan melakukan penyelidikan meliputi pelbagai bidang ilmu pengetahuan, seperti falsafah, kesusasteraan, sejarah, sosiologi dan politik, dalam Islam ataupun Barat. Dengan kemahiran Bahasa Arabnya yang tinggi, beliau dapat menyelidiki karya ulama dan pujangga besar di Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-'Aqqad, Mustafa al-Manfaluti dan Hussain Haikal.

Melalui bahasa Arab juga, beliau meneliti karya sarjana Perancis, Inggeris dan Jerman seperti Albert Camus, William James, Freud, Toynbee, Jean Sartre, Karl Marx dan Pierre Loti. Hamka juga rajin membaca dan bertukar-tukar pikiran dengan tokoh-tokoh terkenal Jakarta seperti HOS Chokroaminoto, Raden Mas Surjoparonoto, Haji Fakrudin, Ar Sutan Mansur dan Ki Bagus Hadikusumo sambil mengasah bakatnya sehingga menjadi seorang orator yang handal.

Hamka dan Pergerakan
Hamka dikenal sebagai seorang petualang. Ayahnya bahkan menyebutnya “Si Bujang Jauh”. Pada 1924, dalam usia 16 tahun, ia pergi ke Jawa untuk mempelajari seluk-beluk gerakan Islam modern dari HOS. Tjokroaminoto, Ki Bagus Hadikusumo (ketua Muhammadiyah, 1944-1952), RM. Soerjopranoto (1871-1959), dan KH. Fakhfuddin (ayah KH. Abdur Rozzaq Fakhruddin). Setelah beberapa lama di Yogyakarta, ia berangkat ke Pekalongan menemui kakak iparnya, AR.Sutan Mansur, yang waktu itu menjadi ketua Muhammadiyah cabang Pekalongan. Di kota ini ia berkenalan dengan tokoh-tokoh ulama setempat. Pada bulan Juli 1925, ia kembali ke rumah ayahnya di Gatangan, Padangpanjang. Sejak itulah ia mulai berkiprah dalam organisasi Muhammadiyah.

Sementara kegiatan politik Hamka bermula pada tahun 1925, ketika beliau menjadi anggota partai politik Sarekat Islam. Pada tahun 1945, beliau membantu menentang usaha kembalinya penjajah Belanda ke Indonesia melalui pidato dan menyertai kegiatan gerilya di dalam hutan di Medan. Pada tahun 1947, Hamka diangkat menjadi ketua Barisan Pertahanan Nasional, Indonesia. Beliau menjadi anggota Konstituante Masyumi dan menjadi pemidato utama dalam Pilihan Raya Umum 1955. Masyumi kemudiannya diharamkan oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1960. Dari tahun 1964 hingga tahun1966, Hamka dipenjarakan oleh Presiden Soekarno karena dituduh pro-Malaysia.

Semasa dipenjaralah beliau mulai menulis Tafsir al-Azhar yang merupakan karya ilmiah terbesarnya. Setelah keluar dari penjara, Hamka diangkat sebagai anggota Badan Musyawarah Kebajikan Nasional, Indonesia, anggota Majelis Perjalanan Haji Indonesia dan anggota Lembaga Kebudayaan Nasional, Indonesia.

Hamka dan Pena
Perjuangan tidak selama harus dilakukan dengan mengangkat senjata, perjuangan fisik harus juga disertai perjuangan mengisi jiwa, menumbuhkan kesadaran, membakar semangat, dan menguatkan ruh jihad.

Perjuangan mengangakat pena ternyata sama mulianya. Apa jadinya jika tidak ada lagi orang yang bersedia mengasah pena? Niscaya tidak ada lagi tulisan, surat kabar, buku, dan juga kitab-kitab yang dibaca dari generasi ke generasi, tidak ada sejarah yang dapat dipelajari di kemudian hari setelah para pelaku sejarah pun telah tiada.

Dari penanya beliau juga menghasilkan karya ilmiah Islam dan karya kreatif seperti novel dan cerpen. Karya ilmiah terbesarnya ialah Tafsir al-Azhar (5 jilid) dan antara novel-novelnya yang mendapat perhatian umum dan menjadi buku teks sastra di Malaysia dan Singapura, termasuk Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Di Bawah Lindungan Ka’bah, dan Merantau ke Deli.

Disamping itu, Hamka juga pernah menerima beberapa anugerah pada peringkat Nasional dan Antarbangsa seperti anugerah kehormatan Doctor Honoris Causa, Universitas al-Azhar, 1958; Doktor Honoris Causa, Universitas Kebangsaan Malaysia, 1974; dan gelar Datuk Indono dan Pengeran Wiroguno dari pemerintah Indonesia.

Kepergian Sang Tokoh
Hamka berpulang ke rahmatullah pada 24 Juli 1981. Namun jasa dan pengaruhnya masih terasa sehingga kini dalam memartabatkan agama Islam. Beliau bukan saja diterima sebagai seorang tokoh ulama dan sastrawan di negara kelahirannya, malah jasanya di seluruh alam Nusantara, termasuk Malaysia dan Singapura, turut dihargai.

Hamka mungking hanyalah satu dari sedikit manusia yang telah mampu mewarnai langit Indonesia dengan kebesaran dan kecemerlangan narasi dan karya-karyanya. Ya, memang hanya sedikit yang mampu mewarnai sejarah. Maka, warnailah sejarah dengan narasi dan karya besarmu hingga manusia seluruhnya mendapatkan satu bahasa dari narasi dan karya besarmu. ‘Manfaat’ inilah yang hanya mampu dipahami oleh mereka. Hingga kus-kusi pun tersenyum karna juga memiliki saham dalam sejarah. Allahu a’lam bis showab. ()

0 comments:

Posting Komentar