Tanggapan untuk Tulisan “Dehunanisasi Perempuan Melalui Poligami”

29 Apr 2010

Oleh : Hendi Nugraha

Tulisan ini merupakan tanggapan terhadap tulisan berjudul “Dehumanisasi Perempuan Melalui Poligami” yang ditulis oleh Sdri. Ellen Febry Valentine dan dimuat dalam buletin KOMA edisi perdana (lihat artikel di sini) .

Pemahaman Dalil Yang Tidak Utuh
Dalam sub-judul “Poligami dan Keadilan”, tertulis “Meskipun Islam membolehkan poligami, namun syarat yang harus dipenuhi tidaklah main-main. Keadilan yang tidak semua orang sanggup melaksanakannya. Bahkan dengan tegas Allah memastikan bahwa manusia tidak akan dapat berlaku adil, Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil terhadap istri-istri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian” (hal 7, cetak miring dari saya).

Dengan argumentasi di atas, tampaknya terdapat penegasan akan ketidakmungkinan pelaksanaan poligami meski Islam membolehkannya. Sayangnya, entah disengaja atau tidak, telah terjadi pemotongan pada ayat yang dicantumkan, sehingga pemahaman pun tidak utuh.

Masalah poligami dan keadilan, sebenarnya ada dalam dua ayat; an-Nisa ayat 3 dan 129. Ayat 3 menjelaskan kebolehan poligami dengan syarat keadilan (yang juga diakui penulis di halaman 5). Para ulama menjelaskan bahwa adil disini adalah dalam perkara-perkara yang manusia mampu berbuat adil, karena tidak mungkin Allah SWT “mempermainkan” manusia dengan membolehkan sesuatu yang syaratnya tidak mungkin dipenuhi. Perkara-perkara tersebut misalnya: pembagian fasilitas hidup sesuai kebutuhan, pembagian jadwal bermalam dan lain-lain, yang senantiasa Rasulullah SAW penuhi bahkan sampai menjelang akhir hayatnya.

Adapun penafian adil dalam ayat yang kedua adalah dalam perkara-perkara yang manusia tidak mungkin dapat berbuat adil dan membaginya sama rata, seperti rasa cinta. Karena itu, masih dalam ayat yang sama (dalam bagian yang terpotong) Allah SWT menyatakan: “karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai) sehingga membiarkan yang lain terkatung-katung”. Jadi, jangan sampai ketidakmampuan berbuat adil dalam pembagian rasa cinta, mengakibatkan terdzaliminya istri-istri yang lain.

Memang, Rasul SAW sendiri lebih mencintai Aisyah R.A dibanding istri-istrinya selain Khadijah R.A. Tapi kecintaan beliau itu tidak menjadikan beliau menganggurkan istri-istrinya yang lain.

Historisitas Hukum
Dalam sub-judul Akar Historis Poligami, tertulis “Pembatasan praktik poligami dalam Islam yang periodik itu secara tidak langsung menunjukkan keluwesan penetapan hukum Islam. Islam memberi guide yang tidak konfrontatif dengan tradisi poligami masyarakat saat itu. Penetapan hukum Islam bersifat tadarruj, ….Muncul pertanyaan, jika Nabi SAW masih hidup dan wahyu masih turun sampai sekarang, mungkinkah poligami dilarang secara total?” (hal 6, cetak miring dari saya).

Pada prinsipnya, segala perintah dan larangan Allah SWT (al-takliif) bersifat umum, yaitu ditujukan untuk laki-laki dan perempuan, sampai ada nash khusus lain yang mengecualikannya. Maka, sepanjang sejarah tidak ada satu pun ulama Islam yang menyatakan bahwa kewajiban shalat, shaum, zakat dan haji hanya diperuntukkan untuk kaum laki-laki saja. Disamping itu, ada beberapa pengecualian dalam hukum seperti pembagian waris, poligami, kesaksian (syahadah) , batasan aurat dan lain-lain.

Pengecualian di atas, bukan berarti hukum Islam diskriminatif dan bias gender. Islam tidak memandang kedudukan jenis kelamin (karakter biologis) dan gender (peran, posisi dan tanggung jawab) antara laki-laki dan perempuan secara dikotomis (terpisah dan dipertentangkan satu dan lainnya). Sehingga perbedaan karakter biologis tidak berpengaruh pada peran, posisi dan tanggung jawab sosialnya. Sebaliknya Islam memandang keduanya secara integral dan komprehensif. Mengakui adanya perbedaan karakter biologis yang berimbas pada perbedaan peran dan tanggung jawab, dan juga menjadikannya sebagai sarana untuk saling kerja sama (ta’aawun), saling menopang (takaaful) dan saling melengkapi (takaamul) yang secara mikro dituangkan dalam konsep keluarga (lihat misalkan artikel tulisan Ust Henri Shalahuddin “Di Balik Politik Kesetaraan” di situs insistnet.com).

Adapun metode yang mengandaikan bahwa adanya pengecualian hukum dalam Islam, yang dituduh bias gender akibat ketidaksiapan budaya patriarkal masyarakat Arab saat turunnya wahyu untuk menerima kesetaraan gender, menurut Ust Henri Shalahuddin, hanya dikembangkan oleh mereka yang terpengaruh akal ateistik-Postmodernis Barat dan akan berdampak serius pada konsep wahyu dalam Islam:

Pertama, kehendak Tuhan ditundukkan pada realitas sejarah dan kesepakatan publik. Seakan-akan Tuhan tidak sempat “menyuarakan” keinginan-Nya untuk mengharamkan poligami karena realitas sosial saat itu tidak mengizinkan turunnya wahyu berbasis gender.

Kedua, memisahkan wahyu dari asal-usul Ketuhanan. Sehingga al-Quran dipahami sebagai respon Nabi SAW dan para sahabatnya terhadap realitas dan problem-problem sosial saat itu sehingga bersifat lokal dan temporal.

Ketiga, kontekstualisasi ayat-ayat qath’i yang bersandar pada sejarah akan menghilangkan sisi mukjizat kebahasaan al-Quran (I’jaaz al-Quraan al-lughawi). Setiap pemaknaan al-Quran pun dijauhkan dari makna kebahasaannya, bahkan selalu memungkinkan masuknya ragam praduga dan purba sangka (lihat referensi sebelumnya).

Dan keempat, jika ayat-ayat hukum dipahami dalam konteks gradualitas, apa relevansi QS al-Maaidah ayat 3 yang menyatakan kesempurnaan Islam?

Rasulullah SAW tTdak Suka Poligami?
Pelarangan Rasul SAW terhadap Ali r.a yang hendak memadu Fathimah r.a merupakan salah satu senjata favorit kalangan anti poligami. Sayangnya, kisah ini pun seringkali terhenti pada larangan Rasul SAW tanpa melihat siapa yang mau Ali r.a nikahi dan ucapan Nabi SAW secara keseluruhan. Bahkan jika larangan ini mau dipahami sebagai ketidak sukaan (kebencian?!) Nabi SAW pada praktik poligami secara umum, maka orang yang pertama mendurhakai Nabi SAW adalah Ali r.a sendiri yang ternyata melakukan poligami setelah wafatnya Fathimah r.a, atau kita merasa lebih pintar dari Ali r.a?

Beberapa Kekeliruan Fatal
Berikut adalah beberapa kekeliruan yang menurut saya termasuk serius dan bahkan bisa digolongkan sebagai tuduhan keji terhadap Nabi SAW, Islam, dan Allah SWT, entah itu disadari atau tidak :

Di halaman 6, pada sub judul "Akar Historis Poligami", tertulis “…itupun masih dengan syarat yang ketat, keadilan yang tidak mungkin dilakukan oleh selain Nabi SAW demikian tutur Imam Syafi’i”.

Jika penulis setuju dengan apa yang menurut penulis adalah pernyataan Imam Syafi’i (bahwa selain Nabi SAW tidak mungkin berbuat adil), maka izin Nabi SAW kepada Harits bin Qais dan Ghailan bin Umayyah al-Tsaqafi untuk mengambil empat istri (sebagaimana dicantumkan oleh penulis dalam halaman yang sama) adalah izin Nabi SAW untuk berlakunya ketidak adilan (kedzaliman?). bahkan QS. an-Nisa ayat 3 adalah legalisasi ketidak adilan (kedzaliman?).

Dari apa yang saya baca, beberapa kali penulis menyatakan bahwa Islam membolehkan poligami (hal 5 paragraf 2 baris ke-4, hal 7 paragraf 2 baris pertama dan hal 10 paragraf 3 baris pertama). Namun dalam salah satu sub judul tertulis “Poligami adalah Salah Satu Kejahatan terhadap Perempuan sebagai Makhluk Hukum, Sosial, Budaya dan Agama.” Apakah ini berarti bahwa Islam membolehkan (menghalalkan) kejahatan?

Penutup
Sudah sepantasnya bagi seorang muslim untuk tunduk patuh pada apa yang telah diputuskan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya (Qath’i). Dan bukannya mengakali dalil-dalil, dengan metode pemotongan ayat atau pun teori “seandainya Nabi SAW masih hidup”, supaya sesuai dengan keinginannya. Allah SWT menurunkan hukum yang pastinya sesuai dengan kebutuhan manusia, meski kadang tidak sesuai dengan keinginan manusia. []

0 comments:

Posting Komentar