Generasi Rabbani yang Futuristik dan Paganisme Globalisasi

20 Agu 2008

(Primus Inter Pares atau The Best among the Bad)

Dulu, globalisasi membuat saya enggan untuk melangkahkan kaki…
Malu untuk mengangkatkan muka…
Malas untuk menggerakkan tangan…
Tetapi sekarang, saya bersemangat…
Mengaktualisasikan diri menjadi salah satu dari barisan para generasi rabbani…

Sudah menjadi hal yang lumrah ketika banyak orang mengatakan bahwa dekadensi moral yang menghinggapi generasi muda sudah mencapai pada titik yang sangat menghawatirkan. Ibarat penyakit kanker yang terus menggerogoti kesehatan manusia sampai menghembuskan nafas terakhirnya. Seperti itulah yang kita hawatirkan, dekadensi moral yang terus menunjukan peningkatan dalam setiap aspeknya dapat menyebabkan hancurnya bangsa tercinta ini. Akhirnya, keinginan bersama untuk memajukan bangsa akan terhenti ditengah jalan.
Nakal! kiranya kalimat itulah yang terlontar dari para orang tua menanggapi tingkah laku sebagian remaja zaman sekarang. Dalam bukunya Rules of Sociological Method, Emile Durkheim menjelaskan bahwa, perilaku menyimpang atau jahat jika terjadi dalam batas-batas tertentu dianggap sebagai fakta sosial yang normal, selama tidak disengaja dan sampai pada batas-batas ketika masyarakat merasa resah dengan munculnya kejahatan tersebut.
Namun apa yang akhir-akhir ini terjadi? kita melihat jelmaan penyimpangan yang merajarela, kita mendengar teriakan kejahatan yang menggema dan kita merasakan hawa kebengisan yang terus menghantui kita. Jangan aneh, kalau bukan generasi muda, maka siapa lagi actor leading-nya? miris bukan? itulah yang terjadi dihadapan kita sekarang.
Maka, “kenakalan multidimensional” menjadi kalimat yang tepat untuk mewakili realitas faktual ini. Betapa tidak? Dari kenakalan biasa, bersifat amoral dan tidak ada dalam undang-undang sampai kenakalan yang bersifat pelanggaran dan kejahatan, telah nampak didepan pintu rumah kita.
Tawuran menjadi solusi bagi mereka yang merasa terusik oleh temannya dari kelompok lain, meskipun dalam permasalahan yang sangat spele. Kepalan tangan dan bongkahan kayu seolah wajib mereka hantamkan kepada siapa saja yang bermasalah dengannya. Mereka tidak lagi memikirkan akibat dan kerugian yang akan dideritanya nanti.
Tidak hanya berhenti sampai disana, didukung dengan keadaan jiwanya yang sedang dalam “pencarian identitas”, mereka menyambut baik datangnya sebuah kebudayaan yang entah dari mana awalnya dan tidak diketahui sampai dimana akan berakhir. Beramai-ramai mereka minum minuman keras, beramai-ramai mereka menghisap sabu, narkotika dan obat-obat terlarang. Entah berapa bungkus mereka habiskan setiap harinya, yang pasti, kurva penggunaan minuman keras, narkotika dan obat-obat terlarang menunjukan peningkatan yang sangat pesat dan terus berkembang.
Bukan hanya itu, dengan perkembangan teknologi yang semakin canggih, di satu sisi memudahkan kita semua untuk mengakses hal-hal baru, meraih informasi, menggali pengetahuan dan meperluas wawasan, dan disisi lain memudahkan kita untuk mengakses hal-hal yang pada hakikatnya dahulu dianggap tabu. Kini semua itu bisa diakses oleh siapa saja, kapan saja dan dimana saja, termasuk dalam layar yang kecil mungil seperti dalam Hand phone. Para pengguna internet dapat dengan mudah menikmati situs pornografi yang sudah tidak terhitung lagi jumlahnya. Dari mulai yang bisa dinikmati dengan gratis, sampai dengan yang harus bayar dengan harga tinggi.
Fenomena ini semua adalah nyata. Perangkat teknologi multimedia mutakhir telah menjadikan sesuatu serba mungkin, menghadirkan apa yang kita cari tanpa membutuhkan banyak ruang dan waktu. Marshall McLuham mengibaratkan dunia yang luas ini sebagai global village dan borderless word. Artinya, Semua batas yang ada didunia ini hilang begitu saja. Hilang sudah batas dunia wilayah Amerika, Indonesia dan Cina. Hilang sudah batas dunia usia anak-anak, remaja dan dewasa. Semuanya diberikan kesempatan untuk mengaksesnya tanpa halangan apapun. Hilangnya batas-batas tersebut, mengakibatkan hancur dan punahnya khazanah budaya lokal, yang pada hakikatnya merupakan ciri khas sebuah bangsa.
Masa remaja merupakan suatu masa transisi dari anak menjadi dewasa, sebuah masa yang sangat menentukan dalam sejarah hidup setiap manusia. Mentalnya diuji dengan berbagai fenomena yang terus menghadangnya, karena generasi muda adalah generasi penerus bangsa yang dituntut mempunyai mental yang tahan banting, dan terus berupaya meningkatkan kualitas dirinya untuk bersaing secara sehat, dengan siapa saja yang telah memproklamirkan dirinya siap bersaing dalam dunia tanpa batas, yang kita kenal dengan istilah globalisasi.
Pemaknaan Globalisasi memang agak rumit, karena sangat kompleks, berkaitan dengan segala aspek kehidupan, meski pada awalnya hanya berhubungan dengan aspek perekonomian saja. Setiap para ahli dibidangnya pun berbeda memaknainya. Misalnya Anthony Giddens penulis buku terkenal yang berjudul Runaway World, How Globalisation is Reshaping Our Life, memaknai globalisasi sebagai intensifikasi hubungan sosial di segenap penjuru dunia yang menghubungkan wilayah-wilayah yang berjauhan dengan metode khusus, sehingga apa yang terjadi pada tingkat lokal dapat dipengaruhi oleh kejadian-kejadian yang berlangsung di tempat lain, begitu juga sebaliknya.
Dalam istilah Thomas Friedman, globalisasi yang terjadi sekarang “semakin jauh, semakin cepat, semakin dalam dan semakin murah…”Globalisasi memberikan kesempatan bagi siapa saja untuk tampil sebagai actor leading. Dengan kekuatannya yang dahsyat, globalisasi menghancurkan dinding-dinding pembatas, yang selama ini membatasi unsur-unsur yang terkait. Meminjam istilah David Held yang mejelaskan bahwa, sedikitnya dengan globalisasi ada dua fenomena yang muncul ke permukaan. Yaitu melonggarnya rantai-rantai yang membatasi aktivitas politik, ekonomi, dan sosial sehingga scoupe semua aktivitas tersebut kini membentang seluas dunia, dan semakin intensnya tingkat interaksi dan hubungan di dalam dan di antara negara-negara serta masyarakat.
Dua orang Profesor dari Harvard University, Robert O. Koehane dan Joseph S. Nye Jr. menjelaskan bahwa Globalisasi yang terjadi sekarang adalah thick globalization, telah menyentuh siapapun dan dimanapun, bisa dilihat dari semakin padatnya jaringan (density of network), semakin cepatnya lembaga-lembaga dunia berhubungan (Institutional velocity) dan munculnya sifat saling ketergantungan diantara mereka.
Effendi Hasan dalam tulisannya Globalisasi dan pengaruhnya terhadap Negara miskin, yang dimuat di www.acehinstitute.org, menyebutkan bahwa lahirnya globalisasi memiliki banyak faktor, diantaranya adalah sebagaimana yang dijelaskan oleh Mitchell dan Tonelson. Lahirnya globalisasi diseluruh dunia adalah akibat tindakan kongres Amerika di bawah pimpinan presiden Reagen yang menjalankan kebijakan Neo-Liberalisme pada tahun 1984 yang bertujuan untuk merubah kebijakan, menghindari kemerosotan ekonomi yang telah menimpa seluruh Negara pada waktu itu. Melalui kebijakan liberalisasi, deregulasi, dan penswastaan yang menyebabkan investor Amerika Serikat lebih banyak berivestasi di luar negeri. Kebijakan Amerika ini diikuti oleh Negara Inggris yang dipimpin oleh Margaret Thatcher. Apa yang dilakukan oleh kedua Negara tersebut menyebabkan terjadinya persaingan secara besar-besaran dalam aspek multinational. Akibatnya gelombang besar globalisasi tak terbendung. Hal ini juga mnyebabkan tercetusnya engine of the growth atau terjadinya perubahan struktural dalam setiap aspek kehidupan diseluruh dunia dalam segala aspeknya, yang berbeda dan tidak pernah dialami oleh umat manusia pada masa-masa sebelumnya.
Kalau memang demikian, globalisasi merupakan sebuah proyek yang diusung oleh negara-negara adikuasa. Globalisasi adalah neo-liberalisme dan kapitalisme dalam bentuknya yang paling mutakhir. Negara yang kuat, kaya dan mampu bertahan akan terus hidup (survival of the fites) dan akan mampu mendominasi serta mengendalikan perekonomian dunia. Sebaliknya, negara-negara lemah dan miskinmakin tak berdaya sampai pada akhirnya hancur lebur karena tidak mampu bersaing.
Pada dasarnya, ternyata dominasi yang telah terjadi dan berasal dari globalisasi ini telah mengarungi beberapa fase yang sangat panjang dan berkaitan satu sama lainnya. Mulai dari fase kolonialisme di Eropa yang mendominasi negara-negara lainnya dengan imperialisme, hegemoni, penjajahan dan penindasan. Setelah keadilan dan panji kemerdekaan tertancap diberbagai negara, kolonialisme mulai tidak menampakkan kebengisannya. Tetapi sayang, dominasi masih saja terjadi. Meski dominasi ini tidak menggunakan kontak fisik, dominasi muncul dengan seperangkat ideologi yang disisipkan dalam kepentingan ekonomi, poitik dan budaya. Ya, masa ini dikenal dengan neo-kolonialisme atau fase pembangunan dan masa developmentalisme. Negara-negara yang baru merdeka ini berada dalam kekuasaan satu negara super power yang telah menancapkan ideologinya dengan sangat kejam. Kemudian lahirlah Fase terakhir yang dapat kita saksikan sekarang ini dengan ditandai oleh liberalisasi dalam segala bidang. Berawal dari terbentuknya GATT (General Agreement Trade and Tariff) hingga WTO (World Trade Organization) yang bekerjasama dengan lembaga donor international seperti IMF dan Bank Dunia. Inilah era yang kita kenal dengan globalisasi.
Nah, konsekuensi dari partisipasi menjadi anggota WTO adalah diadopsinya persyaratan-persyaratan liberalisasi perdagangan dan teori-teori ekonomi positivistik ke dalam Undang-Undang. Seperti Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 1994 tentang investasi yang mensyaratkan diperbolehkannya kepemilikan saham 100% penanaman modal asing. Undang-undang ini membuka kesempatan kepada perusahaan-perusahaan multinational dengan modal besar untuk menguasai Sumber Daya Usaha sehingga menyebabkan matinya perusahaan dalam negeri karena tidak mampu bersaing.
Globalisasi tidak serta merta memberikan keuntungan bagi suatu negara. Menurut peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Carunia Mulya Firdausy, globalisasi ekonomi melalui pengurangan tarif dan subsidi sebesar 30 persen justru merugikan Indonesia hingga US$ 1,9 miliar atau sekitar Rp 17,1 triliun per tahun. (tempointeraktif.com, Selasa, 19 September 2006 ).
Begitulah maksud dan tujuan dari globalisasi, menciptakan sifat ketergantungan dari negara miskin kepada negara-negara kaya. Dengan ketergantungan itu, kebijakan pemerintah khususnya dalam aspek Ekonomi selalu berubah-rubah, demi melayani kepentingan negara kaya. Keadaan Negara menjadi gonjang-ganjing tak menentu. Hal ini membawa dampak negatif bagi seluruh elemen yang ada tanpa terkecuali termasuk kepada generasi muda, bahkan mungkin, generasi muda ini merupakan sasaran utama dari globalisasi. Banyak dari generasi muda yang menerima globalisasi begitu saja tanpa adanya filterisasi terhadap apa yang dia terima, sehingga dia menerima apa saja karena dianggap bahwa arus globalisasi adalah arus yang mendatangkan kesejahteraan dan kemakmuran. Akibatnya dia terjebak kepada suatu hal yang sebenarnya asing dan tidak layak berada dilingkungannya.
Globalisasi dengan segala aspeknya, telah membawa generasi muda kepada nilai-nilai positif yang selalu bisa diambil hikmahnya, tetapi disisi lain dan kebanyakan, globalisasi membawa generasi muda kepada nilai-nilai yang kosong dari spirit, bahkan menjerumuskan mereka ke dalam jurang kenistaan yang sangat dalam. Generasi muda terpengaruh oleh hal-hal baru yang bersifat mewah, modern dan trendi. Seperti yang telah dipaparkan di awal.
Berkaitan dengan hal ini, memperbaiki akhlak dan moral generasi muda tidaklah gampang, tidak semudah membalikkkan telapak tangan. Apalagi di era globalisasi yang mempunyai pengaruh yang sangat dahsyat seperti ini. Pertama, orang tua merupakan benteng awal, sebagai orang yang paling dekat dengan anak-anaknya, yang selalu memperhatikan perkembangan setiap anak-anaknya dan melindunginya dari berbagai asupan yang digemarinya dari pengetahuan, budaya dll. Kedua, Intansi Pendidikan merupakan benteng kedua setelah orang tua, diharapkan agar mampu menjalankan perannya dengan baik sebagai wadah pengelolaan Sumber Daya Manusia yang cerdas dan berakhlakul karimah. Ketiga, Pemerintah menjadi benteng ketiga, mempunyai peran yang sangat besar dalam menentukan kebijakan-kebijakan dan perudang-udangan yang berkaitan dengan kesejahteraan dan moralitas bangsanya. Kerusakan yang dialami oleh generasi muda merupakan tanda kehancuran sebuah bangsa. Setiap orang harus menjadi contoh yang baik bagi teman disampingnya. Ini merupakan pekerjaan besar bagi kita semua, setiap elemen bertanggung jawab atas munculnya barisan generasi harapan Agama dan Bangsa yaitu generasi rabbani.
Dalam Agama Islam, mengajak manusia kepada kebaikan dan mencegahnya dari kemungkaran, merupakan satu kesempatan mulia yang diberikan kepada setiap orang tanpa terkecuali, tua muda, wanita dan laki-laki. Dari mulai anjuran untuk saling nasehat menasehati diantara teman, sampai aspek Amar ma’ruf nahi munkar yang dilakukan oleh sebuah organisasi atau para pemimpin yang kita kenal dengan istilah Ulil Amri. Yang harus disadari adalah, kewajiban Amar ma’ruf nahi munkar dalam hal ini merupakan tongkat estafet yang pasti sampai kepada kita sebagai generasi muda yang akan terus berganti seiring dengan pergantian zaman. Maka kita adalah generasi rabbani. Generasi rabbani dituntut untuk mampu mengemban amanah ini. Diharapkan agar dapat melestarikan Islam dalam segala sendi kehidupan, tanpa terjebak kedalam penafsiran prinsip keagamaan yang kaku dan stagnan serta tidak terobsesi kepada penafsiran prinsip keagamaan yang bebas tanpa batas dengan mendobrak kaidah-kaidah yang pada hakikatnya tidak perlu diperdebatkan kembali.
Kita lihat bagaimana Islam bisa sampai kepada pelosok dunia, dibawa oleh seorang generasi terbaik sepanjang sejarah yang menyatukan seluruh masyarakat dengan Agama yang berbeda dibawah suatu piagam yang dikenal dengan piagam Madinah, yang mampu mengkonsep suatu sistem negara Islam yang mampu berdiri kokoh, yaitu Nabi Muhammad SAW. Kemudian diteruskan oleh generasi yang ta’at dan memegang teguh prinsip keagamaan dengan penuh keteguhan yaitu para sahabat rasulullah. Kemudian diteruskan kepada generasi selanjutnya yang terus melestarikan Islam diberbagai benua melalui pemerintahan Umayah, ‘Abasiyah, sampai kemudian berakhir pada pemerintahan Utsmaniyah. Ya, mereka semua adalah generasi rabbani.
Generasi rabbani pada zaman sekarang adalah generasi rabbani yang futuristik, generasi muda yang mampu merespon globalisasi dengan cerdas, kritis, progressif, kreatif dan inovatif. Karena memang kalau sudah seperti ini, globalisasi tidak bisa terelakkan lagi. Globalisasi adalah tantangan yang harus dipelajari dan difahamai dengan benar sehingga bisa dilalui dan dimanfa'atkan dengan baik.
Generasi rabbani harus merespon kemajuan Barat beserta globalisasinya dengan cerdas dan kreatif. Merespon kemjaun ilmu pengetahuan Barat dengan belajar penuh semangat. Generasi rabbani adalah tulang punggung dan motor penggerak kemajuan sebuah Negara. Sebagai generasi penerus bangsa yang tangguh, ulet, dituntut untuk selalu memperkaya wawasan dan meningkatkan kualitas dirinya dalam berbagai aspek, baik moral maupun intelektual. Diharapkan agar dapat berpartisipasi aktif dalam membanguan karakter bangsanya yang khas dan dapat meraih cita-cita sebuah bangsa yang aman, tenram, sejahtera dan bermartabat, dengan meraih predikat Baldatun thoyyibatun wa rabbun ghafur. _Dani Moh. Ramdani.

1 comments:

andreas iswinarto mengatakan...

Kebusukan Kapitalisme Neoliberal, semakin telanjang!

Di tingkat global setelah kisah krisis air, krisis iklim, krisis minyak, krisis pangan, kini krisis finansial naik panggung, Paradoksnya jalan krisis itu terus ditempuh. Masih saja mekanisme pasar dan korporasi dianggap solusi yang menjanjikan. Ironi abad ini, rasionalitas yang irasional. Rasionalitas yang paling tidak masuk akal.

It’s the capitalism, stupid! (adaptasi dari frase politik yang populer digunakan Clinton ketika berkampanye melawan George Bush Senior, it’s the economic, stupid!)

Silah kunjung
Krisis Keuangan Global : Karl Marx di Aspal Jalan Dunia Datara
http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2008/10/krisis-keuangan-global-karl-marx-di.html

Posting Komentar