Kemerdekaan yang Ternoda

20 Agu 2008

Pada hari Jumat, tanggal 17 Agustus, 63 tahun silam Ir. Soekarno membacakan naskah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang diketik oleh Sajoeti Melik di jalan Pegangsaan Timur 56, Cikini, Jakarta Pusat. Mulai saat itu, Indonesia resmi menjadi negara yang independen. Perjuangan panjang para pahlawan, yang sekaligus perpaduan antara faktor nasional dan internasional, pada akhirnya ternoda oleh ulah segelintir orang.


Maka, tidak berlebihan apabila geliat respek-responsif rakyat Indonesia terhadap hari nasional begitu terasa setiap tanggal 17 Agustus tiba. Jauh-jauh hari mereka sudah menyiapkan peringatan 17 Agustus dengan penuh antusias dan semangat. Berbagai lomba digelar untuk memeriahkan hari kemerdekaan bangsa. Di Istana presiden memperingati detik-detik Proklamasi (biasanya) dengan penembakan meriam dan sirene, pengibaran Sang Saka Merah Putih, pembacaan naskah Proklamasi, dan masih banyak lagi. Acara berlanjut pada sore harinya, yaitu upacara penurunan Bendera Pusaka.
Di desa-desa upacara/ peringatan hari kemerdekaan tidak kalah meriahnya dengan ”pesta” di istana negara. Peringatan hari kemerdekaan yang mereka laksanakan bisa dikatakan biasa-biasa saja: lomba naik pucang, bulu tangkis, bola voly, balap karung, dll. Namun, seiring perputaran waktu, ”hari suci” bangsa (Indonesia) ternoda oleh tingkah polah anak-anak muda. Betapa tidak, darah syuhada (pejuang-pejuang muslim, pen) yang gugur baik di ujung senjata Belanda maupun Jepang dikotori oleh ulah mereka mengumbar maksiat berkedok Agustus-an dengan mengadakan ”pesta binal.”
Realitas demikian, mulai menjamur beberapa tahun terakhir di kalangan anak muda tatkala hari bahagia tiba. Misalnya, mereka mengadakan lomba band dan/ atau urunan untuk mendatangkan band kacangan. Kemudian, mereka (lawan jenis) joget bersama, ”merayakan hari kemerdekaan.” Tidak jarang ”pesta kemerdekaan” berakhir dengan tonjok-tonjokan dan botol alkohol berserakan. Ironisnya, tidak sedikit anak-anak muda yang menodai darah syuhada ber-KTP Islam.
Peran Islam bagi Kemerdekaan
Peran pejuang Islam mewujudkan negara Indonesia yang merdeka tidak bisa dikatakan sedikit. Begitu juga dengan jumlahnya. Ada Pangeran Diponegoro, Cuk Nyak Dhien, Pattimura, dan masih banyak lagi. Sang proklamator, Ir. Soekarno, dan panitia BPUPKI, K.H. Wahid Hasyim, juga orang Islam. Ada K.H. Abdul Wahab Chasbullah dengan Hizbullahnya. Itu baru yang tercatat dalam lembaran sejarah, peran/ jumlah mereka yang diriwayatkan melalui lisan juga tidak kalah banyaknya. Sebut saja nama Mbah Mahrus, pengasuh Ponpes Lirboyo. Beliau bersama santrinya berangkat ke Surabaya membela tanah warisan nenek moyang, begitu cerita turun-temurun yang saya dengar saat mondok di Lirboyo. Dan masih banyak lagi kiai-kiai lainnya yang tidak bisa disebutkan satu persatu.
Setelah merdeka, bukan berarti perjuangan berhenti. Islam terus menjadi penjaga gawang keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Diantara bukti nyatanya, ulama legowo menghapus tujuh kata dari Piagam Jakarta. Sebab, jika tujuh kata tersebut dipertahan berakibat fatal bagi kesatuan negara yang baru seumur jagung. Indonesia akan terpecah. Dar’ul mafasid muqaddamun ‘ala jalbil mashalih, demikan maksim Islam klasik (baca: kaidah fikih) merumuskan.
***
Sejarah mencatat, Indonesia bisa merdeka setelah malakukan perjuangan panjang nan melelahkan. Hasil itu terwujud dalam bentuk perpaduan antara faktor nasional dan internasional saat itu. Di mana pada waktu itu, tentara Jepang tidak berdaya melawan pasukan sekutu pascaruntuhnya Nagasaki (9 Agustus 1945) dan Hirosima, dan negeri Sakura menerima ultimatum dari Amerika dan sekutunya.
Setelah mendengar berita itu Syahrir memberitahu penyair Chairul Anwar. Syahrir juga mendesak Soekarno yang baru pulang dari Dalat, Vietnam, menemui Marsel Terauchi, agar segera memprokalamasikan kemerdekaan Indonesia lebih cepat dari waktu yang dijanjikan oleh Jepang-- 24 Agustus. Syahrir berpendapat bahwa hasil pertemuan di Dalat, 12 Agustus, hanya tipu muslihat Jepang.
Agar bisa mewujudkan Indonesia menjadi negara Independen, Syahrir menyiapkan pengikutnya untuk berdemonstrasi dan bahkan, bila perlu, berperang menghadapi bala tentara Jepang, jika mereka menggunakan kekerasan. Ia sudah menyusun teks proklamasi dan dikirimkan ke seluruh Jawa untuk dicetak dan dibagi-bagikan. Akhirnya, usaha keras itu benar-benar terwujud pada hari Jumat, tanggal 17 Agustus 1945 masehi bertepatan 17 Ramadan 1365, atau 17 Agustus tahun Jepang di jalan Pegangsaran Timur 56, Cikini, Jakarta Pusat.
Akan tetapi, sayang beribu sayang kemerdekaan yang sejak lama dirintis oleh para pejuang kemerdekaan telah ternoda. Ternoda? Ya! Bukan hanya oleh ulah anak-anak ingusan, seperti penulis katakan di awal tulisan ini. Justru noda lebih parah ditorehkan oleh penguasa, khususnya Orde Baru.
Diantara noda yang sulit hilang adalah pengurisan Orde Baru terhadap sebagian orang yang memiliki peran bagi kemerdekaan, khususnya tokoh-tokoh yang backround-nya Islam. Bahkan Masyumi yang nota bene-nya musuh utama (dan sudah tentu punya andil besar mengebiri) PKI pun singkirkan. Padahal Masyumi berada di garda depan tidak hanya saat melawan PKI, pun saat menghadapi Bung Karno. Tokohnya yang paling moderat sekali pun, Mohamad Roem, sama sekali tidak diberi akses jalur politiknya (Tempo, 14 Desember 1998). Noda lain yang sampai sekarang masih belum hilang adalah korupsi yang mengakar rumput dan krisis multi dimensi. Itu baru noda satu orde, belum noda peninggalan pemerintahan setelahnya.
”Kalau datang tanggal 17 Agustus, saya merasa sedih dan prihatin -- campur marah -- mengingat banyaknya orang yang telah ikut berjuang demi tegaknya Republik Indonesia, tetapi sekarang disingkirkan, atau dibuang, atau digencet, atau didiskriminasi,” catat A. Umar Said, dalam Renungan tentang
Hari Kemerdekaan 17 Agustus 2005.

Kasus Said hanya sebagian kecil. Masih banyak lagi ”A. Umar Said” yang lain. Andil Said bagi kemerdekan tidak bisa dibilang sedikit. Ia ikut berperang dalam Pertempuran Surabaya, Said juga ikut bergerilya bersama TRIP melawan Belanda. Kemudian, Said menggantungkan hidupnya pada dunia jurnalis, setelah ia menjadi wartawan Sukarno-is dibawah pimpinan Soekarno.
Saat menjadi pemimpin redaksi Harian Penerangan, Umar hampir kehilangan nyawa. Waktu itu, terjadi pemberontakan PRRI di Sumatra Barat pada tahun 1957--1958, yang dipimpin oleh tokoh-tokoh Masyumi dan PSI dengan mendapat bantuan dari Amerika Serikat.
Beberapa waktu kemudian, Said hijrah ke Jakarta dan menjabat sebagai pimpinan redaksi Harian Ekonomi Nasional, merangkap sebagai bendahara PWI Pusat dan Bendahara Persatuan Wartawan Asia-Afrika dan bendahara Konferensi Internasional Anti-Pangkalan Militer Asing. Mulai saat itulah kegiatannya mendukung berbagai politik Bung Karno semakin meningkat. Peristiwa G30S merubah jalan hidup Said secara total. Sejak meletusnya peristiwa itu, Umar Said terlunta-lunta di negeri orang. Pertama kali ia bermukim di Tiongkok selama tujuh tahun, dan mulai tahun 1974 Said hidup di Prancis sebagai political refugee.
Itulah sekelumit realitas kemerdekaan yang ternoda. Menengok petikan di atas kita merenung: benarkah Indonesia sudah merdeka? Jawaban kita: belum!!! Sampai sekarang Indonesia belum merdeka! Kita masih dijajah penguasa korup yang suka nepotisme dan koncoisme (baca: KKN). Memang, 63 tiga tahun silam Bung Karno sudah membaca naskah Proklamasi yang diketik Sajoeti Melik, dan dia tanda tangani bersama Bung Hatta, bertanda Indonesia resmi menjadi negara independen. Akan tetapi, budaya, ekonomi, hutan, dan laut (untuk menyebutkan beberapa contoh) kita masih belum merdeka.
Penjajahan di laut bukan hanya berupa pengerukan ikan oleh kapal-kapal asing, pasir kita pun diambil singapura sehingga wilayah negeri Singa itu menjorok ke Riau. Sebaliknya, Indonesia terkena ”abrasi” karena pasirnya ”hijrah” ke negeri jiran. Ironisnya, (seakan) pemerintah Indonesia tidak tahu dengan semua pencurian pasir skala besar itu. Sebaliknya, dari Singapura jangankan maling pasir, pencuri ayam pun bisa diketahui dari sana. Sebab, operator satelit negeri itu 24 jam selalu memantau kita.
Menutup tulisan ini, bertepatan dengan event 17 Agustus, izinkan saya untuk meneriakkan, ”Kita belum merdeka, kawan!!!”
Tripoli, 06 Agustus 2008

A. Muntaha Afandie Mahasiswa Ad Dakwah tahun satu. Silahkan tinggalkan pesan dan kunjungi blog penulis: www.jokotingkir.co.nr atau www.urlcantik.com/3307.


0 comments:

Posting Komentar