Mengembalikan Makna Kemerdekaan

19 Agu 2008

Tepat pada tanggal 17 Agustus tahun ini bangsa Indonesia merayakan hari kemerdekaannya yang ke-63, suatu bilangan yang mencerminkan bahwa bangsa ini telah berumur enam puluh tiga tahun. Kalau kita cermati umur negara-negara terdahulu --seperti yang dikemukakan oleh Ibnu Khaldun dalam Mukadimah-nya—kebanyakan tidak terlepas dari tiga ajyal (tahapan sejarah) untuk sampai kepada peradabannya sendiri, yang mana masing-masing tahapan tersebut berlangsung selama 40 tahun.


Dan --menurutnya-- pada tahapan kedualah biasanya suatu bangsa sudah menemukan peradaban karena pada tahapan selanjutnya merupakan tahapan kemunduran. Dengan melihat gambaran ini, sepatutnyalah bangsa Indonesia sudah menemukan identitasnya dan fitrah kebangsaannya, yaitu sebagai bangsa yang benar-benar merdeka dan berdaulat, mampu mendongkrak dirinya untuk lahir menjadi bangsa yang besar dan beradab, kuat dan dihargai, dan yang mampu --sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD 1945-- ”Membentuk pemerintahan yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia.”
Namun, sayang seribu sayang, cita-cita dan keinginan kearah itu hanya sekian persen yang terealisasi --kalau kita tidak ingin mengatakan: ”tidak sama sekali.” Realitas tersebut bisa kita simak dari kondisi bangsa ini yang senantiasa berada dalam gunjingan dan cemoohan bangsa-bangsa lain.
Bangsa-bangsa yang maju menilai Indonesia sebagai bangsa yang rendah dan tidak punya harga diri, dan menyeret ke dalam ketidakberdayaan. Tentunya hal ini ada korelasinya dengan realitas kebangsaan kita yang masih belum bergeser dari krisis multidimensi yang mendera bangsa ini ke arah yang mandiri; mulai dari krisis yang mendera kelompok besar elit politik dengan KKN-nya dan ketergantungannya kepada negara-negara lain.
Lalu, sebagian besar para intelektual muslimnya yang tidak pilih-pilih dalam mengambil pemikiran orientalis Barat (ghazwu al-fikri) sehingga penyakit Sepilis (sekulerisme, pluralisme, dan liberalisme) melanda otak-otak generasi bangsa ini. Begitu juga kebanyakan para generasi mudanya gemar mengkonsumsi 3F (food, fashion, and fun) negara asing dan gemar dengan free sex, narkoba, ditambah lagi dengan gaya hidup sebagian masyarakatnya yang hedonis dan materialistis serta individualis semata. Akhirnya, bukannya kesejahteraan dan pencerdasan yang menyebar di masyarakat Indonesia. Akan tetapi, sebaliknya.
Realitas ini menunjukan bahwa bangsa ini belum menemukan hakikat kemerdekaannya; makna hakiki dari ”kemerdekaan” itu sendiri. Artinya, perubahan hakiki atas dasar makna kemerdekaan belum diraih secara nyata dalam kehidupan berbangsa. Sedangkan kalau di lihat dari makna bahasanya saja ”merdeka” --seperti tertera dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia-- artinya bebas dari penghambaan, penjajahan, dll; berdiri sendiri; tidak terkena atau lepas dari tuntutan; tidak terikat, tidak bergantung kepada orang atau pihak tertentu; atau leluasa.
Maka dari itu, melalui momen peringatan hari kemerdekaan kali ini, mari kita kembalikan makna kemerdekaan ini kepada proporsinya, yaitu dengan menelaah kembali inti dari pembukaan UUD 45, khususnya penggalan paragraf yang berbunyi: ”Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa, dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.”
Penggalan paragraf ini membawa kita kepada dua pokok poin yang harus ditempuh dalam mewujudkan kemerdekaan, dengan melalui jalur dua arah yang mempunyai relevansi satu sama lainnya. Dua poin tersebut adalah: (1) atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa, (2) dorongan dan keinginan luhur supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas. Sedangkan dua jalur tersebut adalah: (1) human-historis, yaitu melalui pendekatan sejarah dengan mengkaji ruh atau semangat generasi terdahulu dalam memperjuangkan kemerdekaan, (2) setelah itu baru melewati jalur masa sekarang, yaitu penerapan, penanaman dan aktualisasi kedua pokok poin tadi pada masa sekarang.
Maksudnya, melalui penggalan paragraf ini kita sebagai bangsa Indonesia dituntut agar mengkaji dan menelaah sejarah para pejuang dahulu (founding father) bangsa ini, yang telah berjuang melawan penjajahan, sebagai realisasi dan aksi dari pemahaman mereka atas konsep ketuhanan; konsep yang sangat mendasar dalam ajaran Islam untuk manusia. Yaitu kemerdekaan, pembebasan diri dari meng-ilah-kan sesama makhluk dan untuk semata-mata hanya meng-ilah-kan Allah Swt (ilahiyyah), dan mengabdikan diri, tunduk, patuh, sujud (menjajahkan diri) hanya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Tidak ”menjajahkan diri” kepada selain-Nya.
Apalagi sesama manusia (wahdaniyyah), yang berarti juga, pembebasan diri dari eksploitasi sesama manusia, pembebasan dari segala bentuk penjajahan suatu bangsa terhadap bangsa lain, baik itu dalam bentuk fisik maupun dalam bentuk ghazwul fikri (pemikiran) ataupun yang lainnya seperti ekonomi, politik, budaya, dan intervensi kepentingan urusan dalam negeri, dll (Rubbubiyah).
Inilah tiga asas konsep ketuhanan dalam islam: ilahiyyah, wahdaniyyah, dan rubbubiyyah, yang terdeklarasikan dalam setiap saat dan setiap waktu dari seorang pribadi muslim dalam kalimat ”Lailaha illa al-Allah, wa Allahu akbar” (tiada Tuhan selain Allah, Dia-lah Yang Maha Besar).
Dalam hal ini, Pangeran Diponegoro, Tuanku Imam Bonjol, Fatahillah, Teuku Umar, Cut Nyak Dien, dan sederet para pahlawan lainnya telah berjuang melawan penjajahan-- dengan semboyannya, ”’isy kariiman ao mut syahiidan” (hidup mulia/ merdeka atau mati syahid)-- sebagai manifestasi dari konsep ketuhanan tersebut. Yaitu, kemerdekaan yang hakiki, dan dengan kinginannya yang menggebu-gebu untuk mewujudkan kemerdekaan. Inilah makna dari dua pokok poin tersebut diatas.
Dan realitas inilah yang kemudian para pencetus UUD ’45 terilhami, bahkan mengharuskan mereka, untuk menuangkan penggalan paragraf tersebut di dalamnya.
Kemudian, pada masa awal kemerdekaan, Bung Tomo pemimpin para pejuang arek-arek Suroboyo, telah membuktikan kedua pokok ini dengan mengambil ibroh dari para pendahulunya. Maka, beliau tidak henti-hentinya menyulut semangat juang arek-arek Surabaya, lebih-lebih para pemuda, dengan gelegar takbir nya ”Allahu akbar” yang mampu menggetarkan dan membakar semangat mereka untuk saling bahu-membahu menumpas penjajah: ”… Semboyan kita tetap! Merdeka atau Mati! Dan kita yakin saudara-saudara, pada akhirnya pastilah kemenangan akan jatuh kepada kita. Sebab, Allah selalu berpihak kepada yang benar. Percayalah saudara-saudara. Tuhan akan melindungi kita sekalian. Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar. Merdeka.”
Akhirnya, Surabaya berhasil direbut oleh mereka pada tanggal 10 Nopember 1945, walaupun tidak sedikit dari mereka yang gugur dalam pertempuran sebagai kusuma bangsa. Dan pemerintah kemudian menetapkan tanggal 10 Nopember sebagai ”Hari Pahlawan.”
Maka dari itu, kita sebagai generasi penerus bangsa ini, sudah saatnya mempraktikan dua pokok poin tersebut. Yang pertama ialah mengakui hanya Allah Swt yang Maha Kuasa atas segala sesuatu (berkeyakinan yang kuat akan konsep ketuhanan) dan yang bisa memberkati kemerdekaan suatu bangsa. Yang kedua adalah tertanamnya cita-cita dan keinginan yang tinggi untuk menjadi bangsa yang merdeka (merelisasikan konsep ketuhanan tersebut), dalam kebangsaan kita, dengan bercermin kepada para leluhur kita (menelaah human historis).
Sehingga, kemerdekaan yang dulu diraih; dengan diproklamirkannya kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 di rengkas dengklok oleh Bung Karno dan Bung Hatta, tidak hilang begitu saja ditelan masa. Hilang akibat ketidak pahaman kita akan makna ”kemerdekaan” yang sebenarnya, yaitu kemerdekaan yang tidak hanya fisik semata, akan tetapi kemerdekaan dari berbagai bentuk penghambaan dan penjajahan diri dari selain Allah Swt, sebagai bentuk implementasi dari konsep ketuhanan, yang berarti pengakuan bersama bahwa hanya Allah yang mengatur segala urusan, dan pengakuan bahwa semua manusia memiliki hak dan kewajiban yang sama dihadapan sang pengatur, yang berlanjut dengan pengakuan bahwa tidak ada penjajahan antar sesama, inilah ”aklamasi hakiki” yang harus dipatuhi dan dijalani oleh sesama manusia.
Akhirnya, sebagai motivasi kita untuk memulai bergerak adalah firman Allah Swt dalam surat Al Ra’d ayat 11: ”Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu bangsa (dari susah menjadi bahagia, dari terjajah menjadi merdeka, atau sebaliknya) sebelum mereka sendiri mengubah apa yang ada pada diri mereka (sesuai dengan keadaan dan usaha yang mereka jalani).”
Wallahu a’lam bi as-shawab
Oleh: Nabil Abdurrahman

0 comments:

Posting Komentar